
Sudah hampir dua tahun Saya menjabat sebagai ketua Karang Taruna. Jabatan tersebut yaitu kali pertama Saya berada di strata teratas Steering Commitee suatu organisasi.
Saya yakin, keputusan tersebut; menimbulkan Saya seorang ketua, yaitu alasannya yaitu tidak ada lagi yang dapat ditumbalkan. Atau paling tidak, hanya Saya orang yang tidak dapat menolak.
Pemekaran Rukun Warga

Berawal dari dipecahnya teritori RW 04 menjadi dua bagian; yakni menjadi RW 04 dan RW 017, karena, mungkin, sudah terlalu berjubel penduduk sehingga pengadministrasiannya terlalu ribet untuk terus disatukan …
… otomatis sistem pemerintahan mulai diperbarui dan dibuat kembali dari awal. RW, RT, DKM, Posyandu, PKK, dan tentu Karang Taruna.
Rumah Saya sendiri masuk ke teritori ke-RW-an 04.
Ketua RW yang menjabat sebelumnya, kebetulan juga masuk ke teritori daerah tinggal Saya. Jadi, putusan musyawarah yaitu tidak mengganti ketua RW. Biarkan dia melanjutkan pusingnya.

Sementara eksekutif-eksekutif di bawahnya dirombak sedemikian rupa dengan mempertimbangkan latar belakang pekerjaan dan keahlian; tidak lupa juga pertimbangan mengenai waktu luang.
Iya, waktu luang.
Menjadi administrator kampung menyerupai RW atau RT harus punya waktu lebih usang bercengkrama dengan masyarakat, atau paling tidak …
… ketika warga butuh, beliau-beliau ada di rumahnya.
Karang Taruna yang Asing

Saya tidak ikut di organisasi Karang Taruna yang sebelumnya. Males. Lagipula kegiatannya hanya pas mau 17 Agustusan saja.
Jadi secara pengalaman, Saya tidak menahu apa-apa perihal organisasi Karang Taruna. Apa saja visi-misi, kiprah pokok dan fungsi, alur kaderisasi, dan si si lainnya.
Yang Saya tahu hanya sekumpulan cowok hanya sibuk menjelang tanggal 17 Agustus to. Sudah hingga di sana.

Males yang Saya rasakan bukan alasannya yaitu keengganan untuk bergerak membantu, tapi ada semacam penyakit sosial yang menjangkiti organisasi tersebut ketika itu.
Iya, maaf jikalau misalkan bahasanya kurang pas.
Tapi yang Saya rasakan ketika itu, Karang Taruna tidak dapat merangkul semua cowok yang berada di wilayah ke-RW-an; hanya sebagian, itu pun bagian kulon saja.
Pemuda-pemuda wetan tidak terperhatikan. Malah kadang-kadang, pemuda wetan bersama Madrasah yang kebetulan berada di sana juga, menciptakan program 17 Agustusan sendiri. Terpisah.
Mungkin itu juga menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan dibelahnya teritori di lingkungan Saya. Ketaksepahaman dan ketakseragaman.
Pemilihan Ketua Karang Taruna

Singkat cerita, perangkat pemerintahan inti sudah terbentuk. Tinggal satu saja yang belum dibentuk, yakni Karang Taruna dari divisi kepemudaan.
Saat itu, jikalau Saya tidak lupa, ada surat yang mesti disebar ke seluruh warga. Kebetulan hari itu Saya sedang tidak ada aktivitas –dan biasanya juga tidak ada, pft-, jadi ya … yang kirim surat, Saya.
Saya lupa tepatnya berapa, surat yang tersebar dengan susah payah. Susah payah alasannya yaitu ada yang pintunya terkunci, telinganya tuli, pagar rumahnya jauh dari pintu, dll.
Saya singkat lagi ceritanya.
Pada hari yang ditentukan, warga mulai memasuki arena pemilihan. Sistem pemilihannya voting langsung.
Jujur, Saya ragu untuk menghadiri rapat warga itu. Males. Sedang ada kerjaan –cie ada kerjaan- update status di anu … fanspage.

Ada rasa tidak enak. Setelah akibatnya menimbang prioritas dan status dari rapat ini penting atau tidak, akibatnya kaki Saya melangkah juga menuju ruang rapat (madrasah) meski pelan-pelan. Tujuannya sih hanya ingin melihat proses saja.
Tapi malapetaka terjadi. Sialnya, cowok yang hadir dapat dihitung jari. Maksudnya, yang masih sekolah/kuliah.
Ini mispersepsi sebetulnya. Dalam teori, cowok itu yaitu semua orang yang mempunyai umur 17 – 35 tahun, jikalau tidak salah.
Tapi di hari itu, yang termasuk kategori cowok hanya mahasiswa saja. Alamakjang!
Maka dipilihlah nominasi ketua dari A hingga C; 3 orang.
Kedua orang lainnya sahabat Saya, yang terang … mereka lebih tua.
Tapi entah kenapa bunyi yang diucapkan warga selalu, “Mulkan”. Bahaya sekali. Sempai mau kabur, tapi aib dengan jenggot.
Mungkin iya, jenggot penyebab mereka menentukan Saya. Kesannya wibawa, gitu? Haduh!
Hasil rapat kemudian menghasilkan, si tukang surat akibatnya menjadi ketua Karang Taruna, yang hingga hari ini tidak pernah merasa menjadi ketua dan berbuat banyak.
Itu pula yang mendasari Saya ikut mendaftar ke Pesantren Sintesa. Saya ingin memajukan kampung Saya. Utamanya biar para pemuda native, tidak pergi ke mana-mana sesudah lulus sekolah. Tapi berkarya di kampung halaman.
Mari sama-sama.
Gitu.
Sumber https://satriabajahitam.com