Kenyataan hari ini yaitu mimpi kita kemarin, dan mimpi kita hari ini yaitu kenyataan hari esok. (Hasan Al-Banna)
Bermimpi yaitu hal yang menyenangkan, selain tidak memerlukan biaya sepeser pun, memiliki mimpi berarti selangkah lebih maju dari orang lain yang hanya sibuk memikirkan hari ini.
Bermimpi yaitu hal yang luar biasa, apalagi kalau punya mimpi yang tidak hanya menyangkut diri sendiri, tetapi juga kebermanfaatan yang bisa kita sebarkan di masyarakat luas.
Saya yaitu pemimpi baru. Bergerak lantaran titah Sang Raja Diraja; Allah swt. yang diperjalankan dari nasab ke nasab hingga sampailah titah itu pada seorang pria paling mulia yang pernah berjalan di Muka Bumi ini, Muhammad saw.
Raja Diraja itu merekam percakapanNya dengan Muhammad dalam surat Al-Imran ayat 110 yang artinya, “Kamu yaitu umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”
Saya punya sebuah mimpi untuk menjadi ummat yang dikabarkan Tuhan dalam lembaran-lembaran suci itu; yakni ummat yang saling ingat-mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran, juga mencegah kemungkaran dengan cara yang dimengerti di zaman Saya hidup, yakni Generasi Z atau Generasi Net yang lahir dalam interval tahun 1995 – 2010.
Bahasa mereka yaitu internet. Maka, mendigitalisasi Rahmat Tuhan menjadi penting hari ini. Setidaknya, lantaran Saya belum merasa bisa menawarkan manfaat di dunia nyata, Saya ingin bermanfaat di dunia maya.
Saya yaitu pemimpi. Inilah kisah hidup saya.
Daftar Isi
Melihat Dunia

Skenario Tuhan, Saya dilahirkan di Tasikmalaya pada hari Minggu tanggal 27 Agustus 1995 dengan nama Muhamad Mulkan Fauzi, nama yang abnormal di telinga. Saya yakin nama ini tidak banyak digunakan di Indonesia.
Nama yang Saya pakai hari ini yaitu satu di antara berbaris-baris nama yang disiapkan almarhum kakek. “Pilihlah …” mungkin dahulu ia berkata ibarat itu pada orang renta Saya. Entah apa yang mendasari mereka berdua setuju menentukan nama langka ini, yang terang … nama yaitu do’a.
Muhamad Mulkan Fauzi artinya: Muhamad Raja yang menang, sukses, atau jaya. Aamiin. Semoga memang begitu. Sukses darul abadi dunianya. Sukses pribadi dan sosialnya. Sukses menginspirasi banyak orang dan terinpirasi banyak orang.
Kehidupan kanak-kanak Saya tidak jauh berbeda dengan bawah umur lain, hanya, kata orang renta Saya, perkembangan motoriknya mengalami akselerasi; tidak tengkurap, merangkak, berdiri, berjalan, kemudian berlari. Tidak. Kata orang renta Saya, “Kamu itu tidak berjalan. Setelah bisa berdiri, eksklusif berlari.”
Satu hal lagi: saya tidak minum ASI.
Hidup ibarat anak Indonesia normal lainnya, Saya masuk ke jenjang pendidikan yang ditawarkan pemerintah; TK, SD, SMP, SMK. Persis sama dengan dominasi pelajar ketika itu, buku paket hanya di bawa dari Rumah ke Sekolah, dibuka kalau disuruh, mengerjakan soal kalau diperintah, kemudian dinilai.
Begitu setiap hari.
Tuntutan sekolah hanya satu: mendapat nilai bagus. Dengan demikian, semua siswa bisa naik kelas, sekolah hening –tidak tercoreng nama baiknya-, orang renta bahagia, guru merasa bangga. Tidak terlalu penting bagaimana cara siswa mendapat nilai itu.
Buktinya, berapa banyak pengawas ujian yang hanya duduk membaca koran ketika tahu siswanya saling lempar kode pakai jari tangan; satu jari berarti A, dua jari berarti B, tiga jari berarti C, dst. Atau bahkan, tidur; tidak peduli dengan tanggung jawabnya sebagai pengawas. Keterlaluan memang. Tapi itulah kenyataannya.
Prestasi akademik pertama yang Saya dapatkan yaitu juara umum ke-3 untuk siswa dengan nilai rata-rata terbaik se-SMP. Setelah itu, berturut-turut jadi juara kelas. Dan di penghujung tahun terakhir SMK, Saya mendapat predikat juara umum ke-2 Ujian Nasional se-SMK N 2 Tasikmalaya.
Tidak ada kebingungan lain kecuali satu hal, pada ketika itu, yang tidak pernah bisa Saya cari pemecahannya. Ketika orang renta Saya bertanya, “Cita-cita kau mau jadi apa?” pengecap Saya selalu kelu. Tidak pernah terbesit dalam pikiran menjadi apa pun. Hidup hanya mengalir ibarat air.
Terjebak Paradigma Masyarakat

Saya baru sadar, hidup ibarat air mengalir itu ternyata tidak baik. Saya lupa, kalau air selalu mengalir ke daerah yang lebih rendah. Sejak lulus SMK, balasannya saya punya satu tujuan: Menjadi orang sukses.
Sukses yang entah. Saya pun tidak tahu caranya.
Akhirnya, Saya tetap mengalir ibarat air. Lebih tepatnya air keruh. Ingin sukses, tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Kemudian Saya coba-coba tarungkan isi kepala ini di dunia orang-orang intelek. Singkat cerita, tahun 2013 Saya diterima di salah satu universitas Yogyakarta tanpa perlu susah payah.
Ibu yaitu orang yang paling bersemangat menyuruh Saya kuliah. Sementara ayah, menawarkan kendali sepenuhnya; membiarkan Saya menentukan masa depan sendiri. Meskipun memang, tersirat impian yang sama dengan Ibu semoga Saya bisa kuliah.
Wajar. Memang, orang renta mana yang tidak mau anaknya sekolah tinggi?
Ah, tapi hanya satu semester Saya bertahan di universitas itu. Lalu pulang ke kampung halaman tanpa bilang-bilang ke pihak lembaga. Rasanya Saya menjadi lebih kusut dari hari-hari yang lalu. Alasannya banyak. Tidak perlu Saya sebutkan. Yang jelas, ketika itu Saya menganggap sistem perkuliahan tidak menemukan kecocokan dengan isi kepala Saya; atau sebaliknya.
Satu semester lagi tersisa semoga genap waktu satu tahun. Di sisa-sisa waktu itu, ada rasa ingin tau yang ingin segera terbayarkan. Apa sebabnya Saya tidak betah duduk di dalam kelas, mendengarkan dosen, menulis cacatan; mengerjakan ujian, kemudian sanggup nilai?
Akhirnya, Saya mendaftar kuliah lagi di universitas swasta lokal –sekarang sudah negeri- di tahun 2014. Lalu hengkang lagi tahun ini, 2016. Tapi rasa ingin tau Saya terbayar sudah. Saya kemudian menentukan untuk tidak terjebak oleh paradigma masyarakat yang berkata: Kalau mau sukses, sekolah-lah yang tinggi!
Keluar Sangkar, Memilih jalan ksatria

Setiap insan diciptakan dengan kemampuan terbang sesudah jatuh. Kenapa menentukan merangkak sesudah itu? (Jalaludin Ar-Rumi)
Saat pertama memutuskan untuk tidak menyusuri jalan yang diambil mayoritas, Saya merasa gagal. Ijazah dan piagam penghargaan; sertifikat-sertifikat keahlian yang Saya miliki semasa sekolah dahulu menjadi tidak ada artinya. Apa yang Saya dapatkan dari semua itu? Kebanggaan sesaat. Hanya itu.
Kemudian, dengan pertimbangan yang matang; dimulai dari analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) kehidupan, tes MBTI (Myers-Briggs Type Indicator) kepribadian, dan sarana penunjang ‘audit diri’ lain.
Saya memutuskan dengan cara yang secama dan dalam tempo yang sematang-matangnya bahwa, Saya mesti belajar, bukan sekolah; berguru di daerah yang menciptakan Saya mengeluarkan gagasan, bukan hanya menghafal. Mencoba menjajakkan diri di ranah Afektif, daripada ‘berjodi’ di lingkungan kognitif.
Manusia punya posisi dan keahliannya masing-masing. Kaprikornus maaf saja bila Saya hari ini berkata bahwa, sekolah itu tidak penting.
Tidak penting bila hanya otak kiri yang diasah. Tidak penting bila sesudah keluar jenjang Sekolah Menengah Atas, belum bisa mandiri. Tidak penting bila parameter cerdasnya siswa dilihat dari nilai rapor saja.
Jalan ksatria yang ditempuh ini tidaklah gampang dan sistematis. Banyak sandungan yang niscaya menghadang di setiap langkahnya; dan Saya sadari itu semua. Tapi justru, itulah yang akan menciptakan kehidupan ini benar-benar hidup. Membuat insan menjadi benar-benar manusia.
Pak Anies Baswedan pernah berkata, “Anak muda, pilih jalan yang menanjak, jangan pilih jalan yang menurun atau mendatar. Memang tidak mudah, tapi di sana ada rute menuju puncak-puncak; di sana kita bisa gaungkan pesan, kirimkan gagasan untuk perubahan. Anak muda tidak pilih jalan yang mudah, mereka pilih jalan yang tangguh, jalan yang keras.”
Belajar di Universitas Kehidupan

Menjadikan setiap daerah yang Saya kunjungi sebagai ruang kelas, orang-orang yang Saya temui sebagai guru, dan masalah-masalah yang Saya temui sebagai mata pelajaran yaitu sebenar-benarnya menikmati embusan nafas. Dari sana Saya belajar banyak hal berkaitan dengan saripati-saripati kehidupan.
Manusia itu dinamis. Orang yang sanggup mengerti perubahan-perubahannya, memanfaatkan potensi-potensi mereka ke posisi maksimal, memahami masalah-masalah pribadi dan sosialnya, orang itulah Sarjana Manusia.
Muhamad Mulkan Fauzi, S. Ma.
Biarkanlah Saya membahagiakan diri dengan gelar itu.
Universitas Kehidupan ternyata lebih mengasyikkan. Martabat dan kehormatan orang yang bergiat bimbing di sana tidak ditentukan menurut transkrip nilai di selesai semester; tidak terletak pada gelar di ujung nama, pangkat di atas pundak, ataupun piagam di dada. Melainkan di dalam hati orang-orang yang dia bantu tanpa pamrih.
Digitalisasi Rahmat Tuhan

Berbekal niat yang mudah-mudahan mulia. Saya kemudian berpikir, tidak asik kalau menjadi orang ‘sadar’ sendirian. Maka, sembari terus berguru perihal hal-hal yang tidak mungkin diajarkan di sekolah, Saya bertekad mengajak sebanyak-banyaknya orang –yang terpuruk- untuk keluar dari jerat paradigma masyarakat itu.
Banyak sahabat Saya yang merasa gagal lantaran tidak bisa masuk universitas. Maka, hei! Saya ingin katakan bahwa, sukses itu yaitu soal sikap; bagaimana Saya dan Kamu bersikap bukan sebagai orang gagal!
Mencari ilmu itu wajib, kuliah tidak.
Bukan berarti kuliah tidak ada gunanya, tapi bagi sebagian orang … jalan kemenangannya tidak ditakdirkan di sana.
Silakan kuliah kalau Kamu senang di sana. Terlebih, kalau mimpimu harus melewati jalan itu. Yang terpenting adalah, jangan kuliah hanya untuk diri sendiri. Setelah lulus, jangan jadi orang ‘miskin’ yang ketergantungan dengan honor atau apapun. Berkaryalah dan karyakan orang lain!
Tapi kalau kuliah hanya mengakibatkan dirimu semakin tidak baik; ujian nyontek, kiprah copy paste, tidak pernah baca buku hanya main game online, tidak ikut organisasi hanya kuliah-pulang, ruang geraknya hanya kampus – kost – warteg. Lebih baik Kamu berhenti kuliah.
Saya tidak kerasan berada di ruang kelas lantaran hal-hal di atas ada di sekitar Saya. Rasanya Saya masuk ke lingkungan yang stagnan; tidak akan menciptakan Saya menjadi orang yang lebih baik. Maka, Saya mencari jalan lain.
Sebelumnya memang, Saya sudah bergiat di sosial media mengurusi akun anonim dakwah; tapi, lantaran waktu itu disibukkan juga dengan aktivitas kampus, jadinya tidak maksimal.
Sekarang, sesudah memutuskan untuk berhenti mendatangi kampus, Saya bisa lebih fokus mengurusi akun dakwah itu. Mendigitalisasi rahmat Tuhan. Sebab, rahmatNya bukan hanya untuk orang ‘alim saja, tapi juga untuk orang-orang yang sedang berubah jadi lebih baik.
Menemukan Visi

Membaca buku menjadi rutinitas. Enak, sambil online-ngadmin; sambil juga baca buku. Entah berapa buah buku yang sudah di baca. Bukan banyak, hanya tidak ingat saja jumlahnya.
Selain itu, Saya jadi daerah pembuangan problem teman-teman. Dengan kata lain, banyak dicurhati masalah-masalah mereka. Seringnya, sih, Saya kutipkan saja kata-kata dari buku yang sudah dibaca. Selesai.
Dalam rutinitas itu, Saya teringat pesan yang pernah ayah sampaikan ketika dahulu lulus SMP. “Kerja itu yang duduk, sanggup uang.”
Itu jugalah yang mendasari Saya menentukan jurusan komputer di SMK; tapi ternyata salah duga. Masuk jurusan Teknik Komputer Jaringan (TKJ), malah akan menciptakan Saya mengurusi hardware; manjat tower, ngukur kabel, servis komputer, dll. Saya pernah melaksanakan itu.
Tuhan memang Mahabaik. Angin zaman telah berubah arah lagi. Sekarang banyak bermunculan tokoh ‘pengangguran bahagia’ di beranda facebook Saya. Dengan penuh minat Saya perhatikan mereka. Tahu mereka siapa? Ya, mereka yaitu pedagang online dan Internet Marketer.
Untuk pertama kali dalam hidup, ada hal yang ingin sekali Saya lakukan. Pandangan Saya mendadak jauh ke depan. Saya berpikir apa yang bisa dilakukan kalau Saya jadi mereka. Satu-dua-tiga hal sudah Saya tuliskan di secarik kertas, mudah-mudahan tercapai.
Mulai dari sini, Saya gres sadar bahwa visi itu sangat penting. Hidup tanpa visi sama saja dengan kita naik taksi kemudian bilang ke supirnya, “Pak, Saya punya waktu dan uang. Antarkan Saya ke mana pun, terserah.” yang kemudian menghasilkan dua kemungkinan:
- Saya tidak ke mana-mana; supirnya hanya berkeliling kompleks.
- Saya tidak tahu sedang di mana; supirnya bawa Saya ke jalan tol, kemudian diturunkan di tengah perjalanan.
Saya yaitu Sang Pemimpi.
Bermimpi menjadi ummat terbaik yang saling ingat mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran lewat Internet. Mengajarkan kerja-kerja kasatmata untuk meraih kehidupan darul abadi dan dunia yang layak.
Bertemu Sintesa

Di sinilah Saya sekarang. Langkah pertama menuju mimpi yang diisyaratkan ayah beberapa tahun lalu.
Semua hal besar dimulai dari hal kecil; jarak terjauh yang pernah dicapai oleh Dzulkarnain dimulai dari langkah kakinya yang pertama.
Terlebih dari itu, jauh di dalam hati dan pikirannya tergambar sebuah visi yang besar sehingga membuatnya mengikrarkan niat yang balasannya menggerakkan tubuh karunia Tuhan itu; yang sama-sama memiliki dua mata, dua lengan, dua kaki, serta satu hati yang dijaga membara untuk berjuang, meraih apa yang dia yakini.
Langkah pertama selalu berat. Bahkan bisa jadi yang terberat. Sebab, bila rasa sesal yaitu yang paling selesai mengetuk pintu hati, maka kekhawatiranlah yang menjadi sandungan paling awal dari apa pun. Khawatir tidak sesuai rencana, khawatir gagal, dll.
Tapi, Saya yakin, bersama Tuhan … semua ‘kan baik-baik saja.
Saya yaitu Sang Pemimpi(n), yang sedang berusaha meraih abjad terakhirnya. Menjadi pemimpin diri sendiri dan mengemudikannya di atas jalan berkah. Mencari seorang pendamping untuk saling menyemangati. Lalu, menarik sebanyak-banyaknya orang untuk ikut di belakang.
Sendiri mengokohkan. Berdua bertumbuh. Banyak bermanfaat.
Salam Satriabajahitam,
Ksatria berhati baja, yang menyalakan lilin di dunia hitam.
Sumber https://satriabajahitam.com