Thursday, April 5, 2018

√ Fotografer Gadungan

Ini salah satu kisah yang terjadi lebih gres dari posting √ Fotografer Gadungan
sumber: static.republika.co.id

Ini salah satu kisah yang terjadi lebih gres dari posting-posting sebelumnya.


Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Jawa Barat ke-34 tahun ini kebetulan diselenggarakan di Tasikmalaya. Tepatnya kemarin tanggal 17 – 23 April 2016.


Inti dari program ini sebenarnya, berdasarkan Saya, yaitu untuk memantik kembali kesadaran warga Kota Tasikmalaya yang katanya punya julukan Kota Santri.


Selain juga membumikan Al-Qur’an di Tanah Priangan supaya langit bergetar dan menurunkan berkahnya.


Mudah-mudahan, harapannya, oknum-oknum yang menjadi sampah di kota santri sanggup segera tersinari cahaya Tuhan dan merecycle dirinya supaya lebih beradab.


Iya. Saya rasa nama tidak selalu menjadi representasi orisinil dari apa yang menjadi tubuh. Meskipun begitu, masih banyak yang gembira dengan nama tersebut.


Saya pernah survey ke beberapa tukang becak. Kebanyakan dari mereka punya semangat itu; ada pujian dengan julukan kota santri.


Mereka jawab sambil merekok. “Huhhss …”



Parade Kesenian


Kegiatan MTQ menjadi sarana konsolidai para direktur kawasan se-Jawa Barat dalam mewujudkan Jabar yang lebih bermartabat dan religius.


Sambil menyelam minum air, tiap kawasan memperkenalkan produk unggulan yang menjadi ciri khas dalam parade yang diselenggarakan di area Car Free Day Jl. KHZ. Mustofa, pagi hingga siang hari.


Mulai dari kerajinan, makanan, seni; rupa, musik, tari, dll., dipertontonkan dengan suasana meriah.


Ini salah satu kisah yang terjadi lebih gres dari posting √ Fotografer Gadungan
pict: dokumen pribadi

Setelah parade, dalam jadwal yang sudah disepakati, pembukaan MTQ secara resmi diselenggarakan di Lapangan Dadaha, sekira 500 meter dari rumah Saya.


Beruntung memang. Saya pernah mendengar percakapan sepasang suami-istri yang sedang mengasuh anak mereka pada hari minggu.


“Enak, ya, tempatnya. Kalau saja bisa setiap hari ke sini. Jauh, sih …”


Dadaha dan sekitarnya memang sudah menjadi target semua lapisan masyarakat ketika ingin merehatkan pikiran. Entah itu dengan berolahraga, menonton kesenian, wisata kuliner, ataupun sekadar duduk santai menikmati angin sepoy-sepoy.


Seremoni Pembukaan


Seremoni pembukaan dimulai bakda isya, sekira pukul 08:00. Dimeriahkan oleh beberapa artis ibukota yang islami. Salah satunya Wali Band.


Ini salah satu kisah yang terjadi lebih gres dari posting √ Fotografer Gadungan
pict: dokumen pribadi

Berhubung sedang tidak berkegiatan, Saya berinisiatif mengabadikan momen-momen yang terjadi di jadwal pembuakaan ini.


Soalnya di kampus, Saya diamanahi sebagai anggota divisi media untuk suatu organisasi. Tapi Saya tidak punya kemudahan yang menunjang, kecuali kemampuan bersosial media. Anteng online, maksudnya.


Untungnya ketua organisasi yang aku ikuti itu punya kamera SLR yang kebetulan tidak dipakai. Sudah begitu disimpan di sekretariat di kampus.


Jarak rumah Saya ke kampus sekira 500m.


Sekali lagi, Saya beruntung. Segala Puji bagi Allah.


Segera Saya bergegas sesudah mendapat izin dari pemiliknya. Kalau Saya ngaca, sudah menyerupai professional, laah …


Ganteng juga.


Ini salah satu kisah yang terjadi lebih gres dari posting √ Fotografer Gadungan
pict: dokumen pribadi

Perkiraan Saya, jalanan niscaya padat. Makara Saya memutuskan berjalan kaki saja, tidak manja menyerupai anak sebelah. Deket ini.


Dan benar saja, kendaraan beroda empat tidak bisa melaju, motor memaksa melintas di atas pundak jalan.


Pengendara Indonesia memang tidak sehat. Selalu memikirkan kepentingan diri sendiri. Maunya ‘Saya cepat sampai. Kamu belakangan …’


… seringkali pejalan kaki kena gonggongan mereka. Bahkan di beberapa video yang pernah Saya lihat, berlanjut ke gulat jalanan.


Miris. Mungkin SIMnya print sendiri di rumah.


Melihat kemacetan menyerupai itu Saya dengan sepenuh sadar berjalan di tengah jalan. Tidak apa-apa, dong, suka-suka; ‘kan pengedara motor ambil pundak jalan.


Sampai di lokasi, terlihat partai ibu-ibu haus piknik sudah bergumul. Mereka yaitu kader pemerintahan kampung. Ada dari PKK, posyandu, ibu RT, dll.


Ada juga geng murid madrasah yang pernah Saya ajar.


Menembus Barikade


Untuk beberapa waktu Saya menunggu di gapura pintu masuk. Barangkali Pak Aher dan Dedi Mizwar mau minta difotoin, kan? Siapa tahu.


Singkat kisah semua telah siap. Tiap-tiap pejabat kawasan sudah menempati tempat yang disediakan. Duduk di bangku sofa dengan batik warna hijau. Mirip lumut. Seperti biasa, tempat bagi mereka yaitu di depan makanan. Eh.


Ini salah satu kisah yang terjadi lebih gres dari posting √ Fotografer Gadungan
pict: dokumen pribadi

Ada barikade polisi dan Tentara Nasional Indonesia yang menjaga supaya warga biasa tidak bisa lebih dekat ke panggung. Hanya wartawan dan panitia dokumentasi yang bisa melintas dan mendekat ke panggung mengabadikan momen.


Saya termasuk orang yang ditahan. Lalu kemudian mundur beberapa langkah.


Tenang, bukan mau ancang-ancang menerobos barikade, kok. Saya bukan orang menyerupai itu. Seorang ksatria dilarang mundur alasannya penghalang kecil, kecuali mundur untuk menyusun strategi. Itu boleh.


Sreeet, Saya buka ritsleting tas, kemudian keluarkan senjata: kamera SLR pinjaman. Lalu dengan percaya diri yang mengalahkan para komika stand up comedy, Saya dekati lagi barikade di sisi yang berbeda.


Saya perlihatkan kamera, menyerupai SPG di toko-toko. Dan … dengan mudahnya Saya diizinkan masuk ke area wartawan dan panitia. Hore.


Ini salah satu kisah yang terjadi lebih gres dari posting √ Fotografer Gadungan
pict: dokumen pribadi

Lancang, sih, di posisi itu kadang Saya menghalangi ‘pemain’ resmi untuk mengambil gambar terbaik. Kalau dipikir-pikir, Saya jadi menyerupai pengendara yang disebutkan di atas tadi.


Saya tidak akan menyatakan pembenaran. Hanyasanya perlu diketahui … orang yang Saya ambil anglenya tidak marah, tidak pula melirik tanda gak suka. Mungkin beliau paham, malah niscaya lebih paham, menjadi pengabadi momen butuh ‘balapan’ mengisi pos terbaik. Meskipun ‘terbaik’ itu hanya opini masing-masing, sih.


Memanfaatkan kesempatan, Saya ambil foto sebanyak-banyaknya. Dengan teknik blur sana-sini, kualitas fotonya aduhai! Jangan pernah tanya, atau Saya tidak akan menjawab.


Ini salah satu kisah yang terjadi lebih gres dari posting √ Fotografer Gadungan
pict: dokumen pribadi

Barikade Dibuka


Selesai sambutan-sambutan yang disampaikan oleh ketua LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an) Tasikmalaya, Walikota Tasikmalaya, dan Gubernur Jawa Barat –seingat Saya cuma itu, barikade dibuka.


Warga berhamburan mendekat ke panggung utama. Tidak sedikit yang berkopiah dan sarung, tapi sambil rokok-an berlari.


Ini salah satu kisah yang terjadi lebih gres dari posting √ Fotografer Gadungan
pict: dokumen pribadi

Kenapa mereka berlari?


Ada arahan dari Master of Ceremony, “Sebentar lagi akan kita nikmati hiburan utama dari grup band papan atas nasional …”


Ya, wali sebentar lagi akan tampil.


Tua-muda, laki-perempuan, jomblo-berpasangan; semuanya berkumpul dan bercampur. Saya termasuk golongan muda, laki, dan jomblo. Maksud Saya, solo karier.


Waktu itu sekira pukul 10:00 malam. Saya melihat ada bawah umur SD yang setia menunggui hingga larut begini.


Saya kurang setuju. Masih belum masanya mereka dibiarkan berkeliaran malam hari tanpa pengawasan. Banyak polusi dan contoh-contoh yang tidak baik. Bagaimana mau mempertahankan moral bila anak-anaknya bersahabat dengan dunia konser? Bah!


Bukan Wali Songo, tapi Wali Papat


Akhirnya yang ditunggu-tunggu maujud di atas panggung. Gemuruh emak-emak penggila artis mencapai frekuensi yang sanggup menghancurkan gendang telinga. Oke, ini lebay.


Seperti halnya menembus barikade di awal tadi, Saya pamerkan kamera, meringsek di antara keramaian sambil bilang, “Punten, kang …”


Saya dibiarkan lewat. Karena apa lagi jika bukan disangka panitia. Pft.


Akhirnya Saya berdiri sempurna di muka panggung. Di depan wali grup band yang sedang bersenandung ria lagu-lagu islami yang sungguh … membangkitkan perenungan.


Ini salah satu kisah yang terjadi lebih gres dari posting √ Fotografer Gadungan
pict: dokumen pribadi

Saya lihat sekitar, muncul lagi kemirisan. Santri yang tidak mencerminkan diri sebagai santri. Mungkin lupa jika mereka pakai kopiah dan sarung. Mereka saling gendong-gendongan kemudian joget menyerupai penonton konser Slank atau Iwan Fals.


Jangan Lupakan Palestina!


Orang-orang bergembira menikmati hiburan. Lupa, saudara kita di Palestina sana sedang berjuang mati-matian mempertahankan hidupnya. Terlebih dari itu … warisan kekasih termulia; para anbiya.


Ada keganjalan dalam hati melihat sekte sarungan yang sikapnya tidak di-sarung-i. Setidaknya, Saya harap, euforia dan sorak sorai yang diekspresikan mencerminkan budbahasa persaudaraan, meskipun terpisah jarak yang sangat jauh.


Apa budbahasa persaudaraan itu? Tidak –terlalu- bersenang-senang dikala saudara kita berjuang. Bukankah kita satu badan yang ketika satu bab sakit, bab yang lainnya juga mencicipi sakit?


Termasuk budbahasa juga, saling mendoakan supaya gotong royong dikuatkan.


Melihat celah, dan kebetulan dikala itu Saya sedang menggunakan syal dengan rajutan bendera Palestina-Indonesia, hati Saya terdorong untuk memberikannya secara cuma-cuma pada salah satu personel wali band.


Ini salah satu kisah yang terjadi lebih gres dari posting √ Fotografer Gadungan
pict: dokumen pribadi

Syal sama yang Saya gunakan mendaki dua gunung dalam semalam di posting sebelumnya, syal yang juga sudah pernah ditanda tangani syeikh dari Palestina, daurah sana-sini, kajian sana-sini, dan tak lupa dibawa tidur ‘membuat pulau’, sekarang berpindah tangan ke ust. Apoy Wali Band. Allahu Akbar!


Ini salah satu kisah yang terjadi lebih gres dari posting √ Fotografer Gadungan
pict: dokumen pribadi

Doa Saya, supaya jadwal MTQ ini membangkitkan ghirah dan kesadaran, bahwa tadi, salah satu ‘tubuh’ kita sedang diserang ‘kanker’ dan kita harus sama-sama mengobatinya.


Nuhuun.



Sumber https://satriabajahitam.com