Friday, April 6, 2018

√ Jakarta, Ibukota Perjuangan

 ada sebuah harapan untuk mencicipi medan agresi √ Jakarta, Ibukota Perjuangan
pict: koleksi pribadi

Selama Saya menjadi mahasiswa, ada sebuah harapan untuk mencicipi medan aksi, memperjuangkan hak-hak masyarakat yang dikebiri pemerintah tanpa sepengetahuan mereka.


Maka sebisa mungkin, Saya harus ikut organisasi yang punya track record agresi tenang yang banyak. Keluar dari sofa nyaman kampus, turun ke jalan menyuarakan suara-suara rakyat.


Orasi yaitu seni.


Silakan Kamu berpikir bahwa demonstrasi tidak ada gunanya. Hanya menghabiskan tenaga tapi tidak menghasilkan apa-apa.


Silakan Kamu berpikir bahwa demonstrasi yaitu cara yang kolot, tidak mencerminkan intelektualitas, menganggu kenyamanan orang lain.


Tapi, adakah hal lain yang sanggup membuka ikat pasung di kaki para cowok selain jalan?


Oh, benar sekali, mahasiswa sanggup melaksanakan audiensi; ngobrol bertatap-tatap dengan pengambil kebijakan yang bersangkutan. Di daerah sejuk ber-AC sambil makan-makan.


Menyelipkan haha-hihi di antara obrolan. Sungkem nunduk tanda penghormatan dan katakan, “Saya tiba untuk memberikan aspirasi masyarakat, pak.”


Bisa sekali.


Tapi sayang, pemimpin kita hari ini menganggap audiensi sebagai jalan cari kondusif dari amuk massa, kemudian katakan, “Terimakasih, aspirasi masyarakat yang adik mahasiswa sampaikan, akan kami pertimbangkan.”


Lalu sudah, hingga di sana. Tindak lanjut yang dijanjikan seringkali tidak ditepati. Ketika difollow up, yang keluar hanya pernyataan, “Sedang kami proses.” Atau, “Sebentar, dik, ada urusan yang lebih mendesak.”


Atau malah, “Maaf, pak anu sedang ada urusan di luar kota.” kunjungan mahasiswa diterima petugas lain.


Itu sebagian contoh. Mungkin tidak semua alur kejadiannya menyerupai demikian. Tapi kenyataannya, banyak yang begitu.


Nah, kemudian sesudah itu apa lagi …


… apa lagi yang sanggup diperbuat mahasiswa selain turun ke jalan?


 ada sebuah harapan untuk mencicipi medan agresi √ Jakarta, Ibukota Perjuangan
pict: koleksi pribadi

Itulah alternatif lain yang paling mungkin dilakukan mahasiswa, bila pendengaran pemimpin kita tersumpal, maka pecahkan sekalian gendang pendengaran mereka. Agar diganti.


Tapi perlu dicatat, agresi bakar-bakaran yaitu perbuatan yang kurang tepat. Demonstrasi itu pakai seni; sanggup orasi, teaterikal, dll.


Itulah yang menjadi dasar Saya menaruh tubuh di organisasi KAMMI. Organisasi ekstra kampus yang berfokus pada isu-isu nasional-politik-pemerintahan dan memberikan solusi berupa solusi Islam.



Dijebloskan ke Jalan yang Benar


 ada sebuah harapan untuk mencicipi medan agresi √ Jakarta, Ibukota Perjuangan
pict: koleksi pribadi

Sebenarnya, harapan untuk mencicipi medan agresi yang disebutkan di atas, muncul sesudah Saya masuk ke dalam bulat organisasi ini.


Organisasi yang Saya ikuti alasannya yaitu dijebloskan seseorang yang begitu menginspirasi sekali perjuangannya.


Setelah mengikuti proses kaderisasi yang tidak mengecewakan panjang dan menguras hati, pikiran, bahkan air mata. Menciptakan perenungan yang mendalam bahwa, cowok dilarang santai-santai saja.


Pemuda haruslah terus bergerak. Bahkan, ketika kelelahan pun, katanya, yang mesti dilakukan cowok bukanlah beristirahat, melainkan terus bergerak.


Teruslah bergerak hingga kaki kanan berada di pelataran Surga. Sebab, dunia dan bumi dihamparkan untuk insan bertualang, buikan santai-santai kondusif dalam kandang.


Istirahat yang sebenarnya, nanti … di Surga.


Tapi akhirnya, orang yang menjebloskan Saya keluar dari organisasi alasannya yaitu harus fokus ke wirausaha dengan pertimbangan yang, berdasarkan Saya, sangat-sangat matang.


Ya sudah. Itu keputusan ia yang tidak sanggup Saya ganggu gugat.


Saya tidak ikut ia meninggalkan organisasi. Ada hal yang sudah mengikat hati Saya, yakni persaudaraan yang melibihi fatwa darah.


Sampai sekarang, meskipun Saya sudah tidak kuliah, hubungan baik itu masih terjalin. Banyak ilham yang Saya dapatkan di organisasi ini, terutama dari Kang Rijal Wahid Muharram, yang kini menjadi guru, inspirator, sekaligus abang Saya.


Seorang pendidik, musisi, trainer, dan penulis. Ini orangnya …



Beliaulah yang mengajari Saya semoga tidak mengalah pada keadaan yang sulit dan bijak menyikapinya. Setiap geraknya mengajarkan produktifitas, perkataannya menginspirasi amal nyata.


Saya beruntung.


Aktualisasi Diri


 ada sebuah harapan untuk mencicipi medan agresi √ Jakarta, Ibukota Perjuangan
pict: koleksi pribadi

Di KAMMI, Saya diajari perihal keikhlasan dalam berbuat, apapun. Sehingga tidak ada hal lain yang menjadi tujuan kecuali Allah swt.


Allahu Ghayatuna.


Sulit memang, ketika harus mengurangi unsur insan kita. Tapi, di situlah nikmatnya perjuangan. Saling mengembangkan bahu untuk meringankan beban. Saling mengingatkan dan menguatkan satu sama lain.


Indahnya persaudaraan dalam bingkai Islam.


Tidak hanya itu, amalan sehari-hari Saya jadi ter-perhatikan. Puasa sunnah berjamaah tidak lagi menjadi hal yang asing. Sunnah dhuha, tahajjud, tilawah, bahkan baca buku pun kadang kala ada yang menyinggung, “Sudahkah?” katanya.


Saya juga diajari menjadi muslim yang moderat. Artinya, berjalan di tengah-tengah golongan yang berselisih paham perihal perkara-perkara kecil.


Lebih mengedepankan “Saya Islam.” tanpa suplemen apapun. Saya tidak problem dengan orang yang celananya cingkrang, menyerupai halnya perilaku Saya terhadap orang yang tidak melaksanakannya.


Toleransi sesama muslim. Saling menyayangi alasannya yaitu Allah.


Ada satu program, namanya Rumah Cerdas, kontennya yaitu pelatihan-pelatihan penunjang skill yang sanggup –in syaa Allah- digunakan di kehidupan sosial masyarakat.


Di sinilah awal mula Saya tertarik terhadap insan dan segala gerak-geriknya. Sebab dengan mempelajari ilmu perihal manusia, Saya sanggup dengan sempurna bersikap ketika berinteraksi dengan mereka.


Hal tersebut sangat Saya butuhkan. Kenapa? Agar semakin banyak yang sanggup Saya ajak pada hal-hal baik. Sampai kini Saya masih belajar. Susah sekali.


Tapi mencar ilmu itu … batas waktunya hanya liang lahat, kan?


KAMMI, organisasi yang memberi inspirasi.


Saya beruntung.


Memperjuangkan Hak Rakyat


Salah satu aktivitas KAMMI yaitu aksi. Masyarakat lebih mengenalnya dengan demonstrasi. Tidak apa-apa, sama saja.


Saya pernah beberapa kali mengikuti aksi. Entah itu agresi penggalangan dana, penolakan kebijakan pemerintah, maupun agresi dalam rangka mengingatkan pemerintah untuk membuka mata pada permasalahan Indonesia.


Aksi terbesar yang pernah Saya ikuti yaitu agresi penilaian pemerintahan rezim Jokowi – JK, pada tanggal 21 Mei 2015, di Istana Merdeka, Jakarta.


 ada sebuah harapan untuk mencicipi medan agresi √ Jakarta, Ibukota Perjuangan
pict: koleksi pribadi

Aksi yang digelar BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia) dan organisasi ekstra kampus se-Indonesia ini berlangsung di tengah terik yang menyengat.


Tapi semangat massa agresi tidak berkurang sedikit pun. Ini yang menciptakan Saya merinding hingga sekarang.


Masih ada orang-orang yang peduli terhadap bangsa ini. Mereka rela menyerahkan segalanya demi terselenggaranya pemerintahan yang sehat; pun suasana nyaman di semua lapisan masyarakat.


Saya tidak tahu pasti, berapa ribu jumlah mahasiswa yang tiba ke Istana Merdeka ketika itu. Yang jelas, dominasi kampus di Indonesia mengirimkan perwakilannya; negeri maupun swasta. Mereka merapatkan barisan, saling berpegang erat. Menghilangkan perbedaan.


 ada sebuah harapan untuk mencicipi medan agresi √ Jakarta, Ibukota Perjuangan
pict: koleksi pribadi

Dan kami, dari Tasikmalaya, hanya organisasi eksternal saja yang berangkat. Perwakilan kampus tidak ada sama sekali. Duh.


Sedikit kecewa sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi, pada ketika itu, alasan yang Saya tahu, pemerintahan kampusnya belum terdaftar ke BEM SI.


Anggota KAMMI Tasikmalaya sangat terbatas sekali. Maklum, di Tasik organisasi eksternal masih dianggap tabu oleh orang dalam kampus.


Jadinya banyak mahasiswa yang cari kondusif saja. Berkegiatan hingga lelah di dalam kampus, mengurusi organisasi dalam kampus, dan tentu … permasalahan kampus.


KAMMI Tasikmalaya kemudian menghubungi KAMMI Ciamis dan Garut untuk menciptakan penuh bis yang sudah disewa. Sayang, kan, kalau kosong.


Berangkat dari Tasikmalaya sekira pukul 22:00, hingga di Jakarta pagi-pagi sekali.


Masjid Istiqlal jadi daerah pemberhentian utama. Setelah shalat dan sarapan secukupnya, kami berembuk membicarakan seni administrasi dan mempersiapkan perangkat-perangkat aksi.


Spanduk, bendera, topeng, toa, dan juga pembagian-pembagian tugas; orator, korlap, danlap, dinlap, dll. Saya kurang paham.


Yang jelas, dalam barisan yang rapat kami berjalan didampingi polisi. Terdengar dari handy talkynya, ternyata starting point setiap kampus berbeda-beda.


Di Istiqlal kami bertemu dengan Universitas Lampung dan STT Telkom Bandung.


 ada sebuah harapan untuk mencicipi medan agresi √ Jakarta, Ibukota Perjuangan
pict: koleksi pribadi

Singkat dongeng kami long march dari Masjid Istiqlal dengan khidmat. Menujukan setiap langkah kaki yang tertapak hari itu demi tujuan mulia, saling ingat-mengingatkan dalam hal kebenaran pada pemerintah.


Salah satu tujuan mahasiswa turun ke jalan yaitu memberitahu masyarakat dan khalayak luas bahwa mereka sedang dikadali pemimpinnya.


Sebab tidak semua rakyat paham yang terjadi, mereka tahunya hanya harga pokok naik di sana-sini.


Di tengah perjalanan, nyanyian-nyanyian hati masyarakat tertuangkan dalam sebuah lirik yang, Saya rasa, semua mahasiswa mengetahuinya.


Judulnya Darah Juang. Begini.



Di sini negeri kami


Tempat padi terhampar


Samuderanya kaya raya


Tanah kami subur, tuan.


 


Di Negeri permai ini


Berjuta rakyat bersimbah luka


Anak kurus tak sekolah


Pemuda desa tak kerja


 


Mereka dirampas haknya


Tergusur dan lapar


Bunda relakan darah juang kami


Untuk membebaskan rakyat


 


Mereka dirampas haknya


Tergusur dan lapar


Bunda relakan darah juang kami


Padamu kami mengabdi


Padamu kami berjanji



Miris sekali memang. Tanah kaya raya dieksploitasi pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Terlebih lagi oleh orang asing.


Indonesia tanah surga, katanya.


Megabiodiversitas, katanya.


Jamrud khatulistiwa, katanya.


Katanya dan katanya.


 ada sebuah harapan untuk mencicipi medan agresi √ Jakarta, Ibukota Perjuangan
pict: koleksi pribadi

Maka hari itu, menggema satu lagi lagu mahasiswa di jalan-jalan Jakarta. Saya menyebutnya Halo Halo Jakarta. Begini.



Halo-halo Jakarta, Ibukota perjuangan


Halo-halo Jakarta, kota kenang-kenangan


 


Sudah usang beta, tidak berjumpa dengan kau


Sekarang telah menjadi lautan aksi!


Mari, bung, rebut kembali.



Saya beruntung mengalami hal ini. Meskipun tidak hingga tamat menjadi mahasiswa, tapi setidaknya … Saya pernah turun ke jalan membela hak rakyat yang diperkosa.



Sumber https://satriabajahitam.com