Thursday, May 11, 2017

√ Efektivitas Pemungutan Pajak

Efektivitas Pemungutan Pajak - Dalam rangka mencapai penerimaan dari sektor pajak yang optimal, berdasarkan Devas (1989:143), pajak itu harus mencapai atau memberikan, “Hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency)”. Menurut Ikhsan dan Salomo (2002 :120) :

Pada dasarmya efektivitas digunakan untuk membuktikan suatu keberhasilan suatu perjuangan atau acara dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Efektivitas pemungutan pajak dengan demikian merupakan citra dari kemampuan organisasi pemungut pajak untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan, yakni jumlah penerimaan pajak yang telah direncanakan. Dengan demikian efektivitas pajak (Tax Effectiveness) merupakan ukuran yang sanggup dipergunakan untuk menilai manajemen perpajakan tempat secara keseluruhan.

Menurut Sidik (dalam Ikhsan dan Salomo, 2002 :120), tax effectiveness tidak lain merupakan perbandingan antara penerimaan pajak positif (penerimaan pajak yang sebenarnya, positif yield). Ukuran efektivitas pemungutan pajak tempat ini intinya sanggup digunakan untuk menganalisis efektivitas pemungutan pajak secara nasional, menyerupai total penerimaan pajak nasional, total penerimaan jenis pajak secara nasional, total penerimaan pajak regional serta total penerimaan pajak secara regional. Secara oprasional efektivitas pajak sanggup dihitung dengan mengunakan rumus Tax perfomance index (TPI), yakni hasil bagi antara realisasi penerimaan pajak dengan sasaran penerimaan pajak. Semakin besarnya angka TPI memperlihatkan semakin efektifnya pemungutan pajak dikaitkan dengan sasaran atau sasaran yang akan diperoleh. Beberapa acara dalam manajemen perpajakan tempat yang perlu dianalisis perfomancenya dalam rangka penerimaan pajak tempat diantaranya ialah pencairan tunggakan, penetapan, penerapan sanksi, pemeriksaan, pengusutan, penagihan dan collection ratio. Untuk itu dibutuhkan suatu pendekatan identifikasi potensi setiap jenis pajak biar kebijakan collection ratio tidak hanya sesuai dengan potensi pajak namun juga sanggup direalisasikan melalui penerapan suatu sistem manajemen pengelolaan sumber-sumber penerimaan pajak. Dalam konteks ini, berdasarkan Sumitro (dalam Munawir, 1998 : 3) :

Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (tegen prestise) dari negara yang eksklusif sanggup ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (publik uitgaven).

Dengan demikian pajak menjadi salah satu sumber pembiayaan publik, yaitu anggaran yang dikelola oleh pemerintah. Sebagian anggaran tersebut digunakan untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dalam rangka memenuhi kewajiban negara terhadap hak warga negara. Pemenuhan kewajiban ini juga harus dilakukan oleh daerah, lantaran berdasarkan Djajadiningrat (dalam Munawir, 1998 : 4) :

Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memperlihatkan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, berdasarkan peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta sanggup dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.

Senada dengan pendapat di atas, Sumitro (1990 : 3) menyampaikan pajak ialah iuran kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintahan) berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa imbal (kontra pretasi) yang eksklusif sanggup ditujukan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum, dan yang digunakan sebagai alat atau pendorong untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang keuangan. Hal yang hampir sama juga dikatakan oleh Soemahamidjaja (1990 : 3) yang menyampaikan bahwa pajak ialah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

Bila ditinjau dari sisi kinerja pengelolaan pajak, berdasarkan Smeets (dalam Pudyamiko, 2002 : 4), pajak merupakan prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma aturan dan yang sanggup dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang sanggup ditunjukan dalam hal individual, maksudnya ialah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Pandangan Smeets ini menonjolkan adanya fungsi budgeter dari pajak, yakni untuk memasukan uang ke kas Negara.

Karena itu, pemungutan pajak harus dilakukan secara efektif. Dalam konteks ini, Sidik (dalam Ikhsan dan Salomo, 2002 :120) menjelaskan :

Tax Effectiveness secara tidak eksklusif juga membuktikan seberapa besar keberhasilan tempat dalam mengumpulkan pajak dari potensi yang dimilikinya. Semakin kecil selisih antara penerimaan pajak yang bersama-sama dengan potensi pajak yang ada maka berarti semakin efektiflah manajemen perpajakan daerah. hal tersebut juga meninjukan bahwa semua potensi pajak yang ada sanggup dipungut seluruhnya. Selain itu tingginya angka tax effectiveness juga membuktikan kecilnya tunggakan pajak dan penghindaran pajak oleh si wajib pajak. Ukuran untuk menilai kemampuan manajemen perpajak dalam menggali dan merealisasikan potensi penerimaan pajak yang ada dinamakan dengan rasio efisiensi administrasif (administrasive efficiency ratio atau AER). Pengukuran potensi pajak dengan memakai AER tersebut sanggup di terapkan baik dari segi penerimaan , dari segi jumlah wajib pajak , maupun dari segi objek pajak.

Keberhasilan dalam mengelola sumber-sumber penerimaan pajak tempat tergantung pada kemampuan pemerintah tempat dalam menggerakkan faktor-faktor yang turut memilih keberhasilan tersebut. Pandangan menyerupai ini perlu dipertimbangkan lantaran sesungguhnya terdapat suatu fenomena korelasi kausalitas antara kebijakan pemerintah tempat di bidang perekonomian, terutama kebijakan keuangan, dengan kondisi dinamis perekonomian masyarakat. Kondisi dinamis perekonomian masyarakat inilah yang menjadi sumber penerimaan pajak. Guna memahami potensi penerimaan pajak ini, Davey (1988 : 40) menyampaikan :

Untuk menilai potensi pajak sebagai penerimaan tempat dibutuhkan kriteria”. Ini dimaksudkan bahwa penggalian potensi sumber-sumber pendanaan yang pada umumnya berupa perpajakan harus didasarkan atas kriteria tertentu biar penggalian potensi sumber-sumber pendanaan serasi, seimbang dan terpadu. Ada lima kriteria evaluasi yaitu : kecukupan dan elastisitas; keadilan; kemampuan administratif; janji politis; administratif pajak daerah.

Dalam konteks itu, seseorang atau suatu tubuh perjuangan gres bisa dikatakan “dengan sukarela ia memenuhi kewajiban pajaknya” apabila ia sendiri memiliki kemampuan lebih untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Tetapi sebaliknya, apabila kenyataan membuktikan bahwa ternyata pendapatan seseorang tidak layak untuk dikurangi pajak penghasilan dan daya belinya melemah lantaran harga-harga meninggi, atau laba suatu tubuh perjuangan tidak memadai untuk memenuhi kewajiban pajak perusahaan, maka logikanya sumber-sumber penerimaan Pajak Daerah semakin berkurang. Kondisi ini bisa diatasi apabila seni manajemen kebijakan alokasi anggaran pembangunan untuk sektor-sektor perekonomian tempat sanggup menjadi faktor pendukung bagi meningkatnya penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penerimaan PAD kemudian dialokasi untuk membiaya pelaksanaan acara pembangunan dan pelayanan publik yang terarah untuk juga untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Agar pajak sebagai penyerahan sebagian dana dari sektor swasta ke sektor negara mencapai sasarannya, maka di dalam pelaksanaannya harus memperhatikan beberapa asas, biar selalu mengacu kepada kepentingan umum atau kepentingan yang lebih luas. Dalam konteks ini, Suparmoko (2000 : 6) menjelaskan :

Pajak memiliki fungsi sebagai sumber keuangan negara (budgetary) dan sebagai pengatur (regulatory). Fungsi sebagai budgetary ialah pajak dipergunakan sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai acara pemerintahan, terutama kegiatan-kegiatan rutin. Fungsi pajak sebagai regulatory ialah sebagai pengatur perekonomian guna menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, mengadakan redistribusi pendapatan serta stabilisasi ekonomi.

Dengan fungsi pajak yang demikian itu, maka pemungutan pajak harus dilakukan dengan cara-cara yang efektif dan efisien. Asas-asas pemungutan pajak berdasarkan Smith dalam Waluyo (2000 : 5) ialah sebagai berikut :


  1. Equity. Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta.
  2. Certainty. Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang, oleh lantaran itu wajib pajak harus mengetahui secara terang dan niscaya pajak yang terutang, kapan harus dibayar serta batas waktu pembayaran.
  3. Pay as you earn. Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak, teladan pada ketika wajib pajak memperoleh penghasilan.
  4. Economy. Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul wajib pajak.


Karena pemungutan pajak berdasarkan Soemitro (1986:8) merupakan pengalihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada imbalannya yang secara eksklusif sanggup ditunjuk, maka disyaratkan bahwa pajak, sebelum diberlakukan harus mandapatkan persetujuan dari rakyat terlebih dahulu. Persetujuan oleh rakyat yang dimaksudkan ialah bahwa kebijakan pemungutan pajak yang disetujui oleh dewan perwakilan rakyat atau DPRD untuk pajak daerah. Selanjutnya ialah bagaimana mengimpkementasikan kebijakan pemungutan pajak tersebut secara efektif. Menurut Ikhsan dan Salomo (2002 :122) :

Besar kecilnya angka Tax effectiveness secara teoritis di pengaruhi oleh beberapa faktor. Penghindaran pajak terang sanggup menyebabkan kecilnya penerimaan pajak, lantaran pajak yang seharusnya di terima oleh tempat menjadi tidak sanggup di terima. Akibatnya tidak seluruh potensi pajak yang sanggup tergali. Penghindaran pajak sanggup berupa penghindaran pajak yang tidak melanggar aturan (legal), yang dinamakan tax avoidance, dan penghindaan pajak yang melanggar aturan (ilegal), yang di namakan dengan tax evasion. Penghindaran pajak yang tidak melanggar aturan dilakukan oleh wajib pajak dengan cara mencari celah-celah kelemahan dari undang-undang atau peraturan-peraturan perpajakan. Dengan memafaatkan kelemahan-kelemahan aturan perpajakan tersebut maka penghindaran pajak yang di lakukannya tidak sanggup di kategorikan sebagai suatu pelanggaran hukum. Bagi suatu perusahaan, upaya penghindaran pajak yang tidak melanggar aturan ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, contohnya dengan melaksanakan integrasi vertikal (vertical integration) dari hulu hingga ke hilir atas suatu aktifitas perjuangan demi menghindari pemungutan pajak penjualan atau pajak pertambahan nilai barang atau jasa, melaksanakan marger atau melaksanakan akuisisi atas beberapa perusahaan untuk menghindari pajak penghasilan perusahaan dan banyak sekali pajak bea materai dan sebagainya.

Dengan memahami faktor-faktor yang menghipnotis efektivitas pemungutan pajak itu, maka setiap tempat harus cermat dalam memberlakukan kebijakan perpajakan. Dalam hal ini (Davey, 1988 : 101) menyampaikan :

Dalam beberapa hal Pemerintah Regional dibenarkan oleh undang-undang atau peraturan memungut, menaksir atau mengumpulkan pajak pendapatan, bersifat pararel akan tetapi berbeda dengan pajak pendapatan nasional. Secara keseluruhan pembagian manajemen pajak dan perhitungan yang digunakan atas kekayaan di tempat tidak sama dengan pengenaan, pembebasan atau dispensasi yang diberikan kepada perorangan untuk tingkat nasional.

Menurut Davey (1983:32), secara teoritis, perpajakan tempat meliputi beberapa banyak sekali jenis pajak, baik pajak yang dipungut oleh pemerintah tempat dengan pengaturan dari tempat sendiri, pajak yang dipungut berdasarkan pengaturan nasional namun penetapan tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah, pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah, serta yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah sentra tetapi jadinya dibagihasilkan kepada pemerintah tempat atau dibebani pungutan aksesori (opsen) oleh pemerintah daerah.

Sumber http://tesisdisertasi.blogspot.com