Pada bulan September 2017 kemarin, ada fenomena cukup menarik dalam perekonomian nasional kita. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka rupiah mengalami depresiasi terhadap mata uang dolar mencapai 0,23 persen. Sebenarnya bila kita amati bersama, semenjak Januari sampai final September tahun ini, tidak terdapat fluktuasi yang cukup berarti pada kurs rupiah terhadap dolar. Meskipun, bila kita tarik benang merahnya, terdapat tren penurunan.
Kondisi sebaliknya malah berbeda, kurs rupiah justru mengalami apresiasi terhadap sejumlah mata uang asing. BPS mencatat terjadi apresiasi rupiah sebesar 0,5 persen terhadap uang dolar Australia, di mana 1 dolarnya senilai Rp. 10.504,47,. Rupiah juga terapresiasi terhadap mata uang Yen Jepang di mana 1 Yennya senilai Rp. 118,85. Selain itu, rupiah juga terapresiasi terhadap mata uang Euro di mana 1 Euronya senilai Rp. 15.746,39. Secara teori menyerupai yang telah kita obrolkan beberapa waktu yang lampau (obrolan sanggup Anda baca di sini), ketika rupiah terdepresiasi, maka nilai riilnya akan mengalami penurunan atau dengan kata lain nilai riil rupiah lebih murah dibandingkan dengan nilai riil mata uang lain. Sebaliknya, bila rupiah terapresiasi terhadap mata uang lain, maka nilai riilnya mengalami peningkatan atau sanggup dibilang lebih mahal daripada mata uang lainnya.
Fenomena ini kita coba kaitkan dengan kondisi ekspor dan impor Indonesia selama tahun berjalan. Pada bulan September, BPS merilis statistik ekspor Indonesia. Setidaknya terdapat peningkatkan sebesar 15,60 persen selama bulan September kemarin. Sedangkan di sisi impor, BPS mencatat ada kenaikan sebesar 13,13 persen dibandingkan bulan Agustus. Nampak terang bahwa peningkatkan ekspor masih lebih tinggi daripada impor sehingga necara perdagangan nasional Indonesia sampai September terdapat surplus mencapai 1.760,9 juta US$ (BPS, 2017). Secara teori, ketika rupiah terdepresiasi terhadap suatu mata uang abnormal tertentu, maka yang terjadi ialah peningkatkan ekspor.
Berdasarkan data BPS, dikala rupiah terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS), terlihat adanya peningkatan ekspor, yakni sekitar 17,36 persen untuk periode September 2016 - September 2017. Begitu pula untuk ekpsor non-migas, ada peningkatan sebesar 17,27 persen yang disumbang oleh ekspor non-migas ke AS dengan nilai US$ 1,46 miliar.
Ketika rupiah terdepresiasi, maka produsen akan memutuskan melaksanakan ekspor produknya sebab bila dijual di dalam negeri justru tidak menguntungkan sebab nilai rupiah melemah. Inilah mengapa volume ekspor akan meningkat seiring terjadinya depresiasi rupiah terhadap mata uang tertentu yang dalam perkara ini terhadap mata uang dolar AS.
Sebaliknya, kita amati terdapat nilai impor terbesar ke Indonesia salah satunya disumbang oleh Jepang, yakni sebesar US$ 10,90 miliar atau dengan proporsi sebesar 11,46 persen terhadap total impor. Salah satu penyebab dari besarnya impor dari Jepang ke Indonesia ini ialah apresiasi rupiah terhadap mata uang Yen Jepang. Meski BPS menyebutkan bahwa impor Indonesia sedikit menurun di bulan September terhadap Agustus, yakni sebesar 5,39 persen. Apresiasi rupiah terhadap mata uang Yen Jepang menjadikan nilai riil rupiah lebih tinggi daripada Yen Jepang sehingga produsen di negara Jepang lebih menentukan untuk mengekspor ke Indonesia sebab akan lebih menguntungkan daripada memasarkannya di Jepang sendiri.(*)
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/
Kondisi sebaliknya malah berbeda, kurs rupiah justru mengalami apresiasi terhadap sejumlah mata uang asing. BPS mencatat terjadi apresiasi rupiah sebesar 0,5 persen terhadap uang dolar Australia, di mana 1 dolarnya senilai Rp. 10.504,47,. Rupiah juga terapresiasi terhadap mata uang Yen Jepang di mana 1 Yennya senilai Rp. 118,85. Selain itu, rupiah juga terapresiasi terhadap mata uang Euro di mana 1 Euronya senilai Rp. 15.746,39. Secara teori menyerupai yang telah kita obrolkan beberapa waktu yang lampau (obrolan sanggup Anda baca di sini), ketika rupiah terdepresiasi, maka nilai riilnya akan mengalami penurunan atau dengan kata lain nilai riil rupiah lebih murah dibandingkan dengan nilai riil mata uang lain. Sebaliknya, bila rupiah terapresiasi terhadap mata uang lain, maka nilai riilnya mengalami peningkatan atau sanggup dibilang lebih mahal daripada mata uang lainnya.
Fenomena ini kita coba kaitkan dengan kondisi ekspor dan impor Indonesia selama tahun berjalan. Pada bulan September, BPS merilis statistik ekspor Indonesia. Setidaknya terdapat peningkatkan sebesar 15,60 persen selama bulan September kemarin. Sedangkan di sisi impor, BPS mencatat ada kenaikan sebesar 13,13 persen dibandingkan bulan Agustus. Nampak terang bahwa peningkatkan ekspor masih lebih tinggi daripada impor sehingga necara perdagangan nasional Indonesia sampai September terdapat surplus mencapai 1.760,9 juta US$ (BPS, 2017). Secara teori, ketika rupiah terdepresiasi terhadap suatu mata uang abnormal tertentu, maka yang terjadi ialah peningkatkan ekspor.
Berdasarkan data BPS, dikala rupiah terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS), terlihat adanya peningkatan ekspor, yakni sekitar 17,36 persen untuk periode September 2016 - September 2017. Begitu pula untuk ekpsor non-migas, ada peningkatan sebesar 17,27 persen yang disumbang oleh ekspor non-migas ke AS dengan nilai US$ 1,46 miliar.
Ketika rupiah terdepresiasi, maka produsen akan memutuskan melaksanakan ekspor produknya sebab bila dijual di dalam negeri justru tidak menguntungkan sebab nilai rupiah melemah. Inilah mengapa volume ekspor akan meningkat seiring terjadinya depresiasi rupiah terhadap mata uang tertentu yang dalam perkara ini terhadap mata uang dolar AS.
Sebaliknya, kita amati terdapat nilai impor terbesar ke Indonesia salah satunya disumbang oleh Jepang, yakni sebesar US$ 10,90 miliar atau dengan proporsi sebesar 11,46 persen terhadap total impor. Salah satu penyebab dari besarnya impor dari Jepang ke Indonesia ini ialah apresiasi rupiah terhadap mata uang Yen Jepang. Meski BPS menyebutkan bahwa impor Indonesia sedikit menurun di bulan September terhadap Agustus, yakni sebesar 5,39 persen. Apresiasi rupiah terhadap mata uang Yen Jepang menjadikan nilai riil rupiah lebih tinggi daripada Yen Jepang sehingga produsen di negara Jepang lebih menentukan untuk mengekspor ke Indonesia sebab akan lebih menguntungkan daripada memasarkannya di Jepang sendiri.(*)
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/