Pencacahan SDKI dalam Kondisi Mati Listrik, Toboino, Halmahera Timur, sumber foto: dokpri.
Permasalahan penduduk hingga sekarang masih menjadi perhatian pemerintah. Berbagai bentuk upaya telah dilakukan untuk menekan jumlah penduduk setiap tahunnya. Hingga 2016, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia yakni sekitar 258 juta jiwa. Jumlah ini bukanlah hal sepele, alasannya yakni ada kecenderungan bahwa semakin besar jumlah penduduk, semakin kompleks pula problem yang ditimbulkan, contohnya saja problem kelistrikan.
Listrik menjadi barang vital untuk negara sebesar Indonesia. Tanpa listrik, perekonomian nasional akan stagnan, melambat bahkan terancam bangkrut. Tak hanya itu, listrik juga mempunyai tugas penting di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Contoh sederhananya saja, listrik begitu besar menopang ketersediaan hiburan masyarakat.
Hingga kini, jumlah masyarakat Indonesia yang bisa menikmati listrik sanggup dikatakan masih kurang, khususnya di tempat perdesaan. Di perdesaan, masyarakat seringkali mengeluhkan pemadaman listrik. Pun, bagi yang sangat pelosok, mereka bahkan sangat sabar hidup dalam kegelapan malam dan siang tanpa listrik. Ini bukan opini belaka ternyata, alasannya yakni hingga 2014, BPS menyebutkan bahwa sekitar 2.519 desa di Indonesia ini belum terlistriki. Hingga tahun 2015 saja, rasio elektrifikasi di Indonesia masih sebesar 88,30. Artinya, dari total 100 persen masyarakat, ada sekitar 88,3 persen saja yang bisa menikmati listrik. Sedangkan sekitar 12,7 persennya lagi hidup tanpa listrik.
Persentase Masyarakat yang Menikmati Listrik dan Belum Menikmati Listrik di Perdesaan (diolah), sumber foto: dokpri.
Bila dilihat menurut data, rasio elektrifikasi Indonesia dari tahun 2006 hingga 2015 terus mengalami peningkatan. Di tahun 2006, besarnya rasio elektrifikasi hanya 63,0, namun terus mengalami peningkatan menjadi 88,3 di tahun 2015 (Dirjen MESDM, 2017). Jumlah masyarakat yang menikmati listrik memang meningkat, tapi yang masih menjadi pertanyaan kita yakni masyarakat mana yang menikmati listrik itu? Dan juga apakah telah merata di seluruh wilayah?
Rasio Elektrifikasi Indonesia 2006-2015 (diolah), sumber foto: dokpri
Inilah mengapa pada tahun ini (2017), pemerintah melalui RPJMN berkomitmen untuk mencapai rasio elektrifikasi hingga menyentuh angka 92,75 persen. Komitmen ini juga telah tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 38 Tahun 2016 perihal Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan Belum Berkembang, Terpencil, Perbatasan dan Pulau Kecil.
Kebijakan kelistrikan nasional ternyata memperlihatkan efek pada aspek demografi Indonesia. Dampak itu bukanlah isapan jempol, alasannya yakni ada kecenderung bisa menekan angka kelahiran.
Sekarang kita cek datanya, historikal data Total Fertility Rate (TFR) Indonesia selama 14 tahun memperlihatkan kecenderungan menurun. Artinya, jumlah kelahiran perempuan usia subur (WUS) selama masa hidupnya mengalami penurunan. Data kompilasi dari BPS, BKKBN, hasil Interpolasi serta data dari Hartono (2016) menyebutkan bahwa TFR Indonesia dari 2006 yang sebesar 2,20, menjadi 2,289 di tahun 2015.
Total Fertility Rate (TFR) Indonesia 2006-2015 (diolah), sumber foto: dokpri.
Angka tersebut sanggup kita artikan bahwa perempuan usia subur (WUS) di Indonesia selama masa hidupnya rata-rata melahirkan anak sebanyak 2 hingga 3 orang. Program "2 Anak Cukup" dan terus digencarkannya aktivitas Keluarga Berencana (KB) ternyata cukup hebat menekan angka kelahiran.
Namun ada satu fenomena gres yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia soal kelahiran ini. Berdasarkan pengalaman survei di lapangan, banyak masyarakat yang beropini bahwa kelahiran yang terjadi di dalam keluarganya itu akhir kurangnya hiburan disebabkan di tempat mereka belum ada listrik atau menikmati listrik dalam tempo singkat. Akhirnya, mereka berdalih anak banyak lantaran memang hiburannya yakni dengan istrinya saja.
Ada sebagian yang memang mempunyai media hiburan semisal televisi, radio dan HP. Tetapi lantaran listrik yang mereka nikmati sedikit atau bahkan tidak sama sekali menciptakan hiburan mereka hanyalah membahagiakan istri. Berawal dari fenomena ini, ternyata data juga berkata demikian.
Hasil kekerabatan antara rasio elektrifikasi dan TFR selama 14 tahun dari 2001 hingga 2015 yakni sebesar -0,12. Artinya, semakin besar rasio elektrifikasi ternyata cenderung memperkecil TFR. Semakin banyak masyarakat yang sanggup menikmati listrik, khususnya di perdesaan, ada kecenderungan bahwa akan menurunkan TFR. Sebab, jikalau listrik mengalir ke desa-desa, hiburan masyarakat akan semakin bervariasi dan tidak hanya membahagiakan istri yang berdampak pada membeludaknya jumlah kelahiran.(*)
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/Permasalahan penduduk hingga sekarang masih menjadi perhatian pemerintah. Berbagai bentuk upaya telah dilakukan untuk menekan jumlah penduduk setiap tahunnya. Hingga 2016, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia yakni sekitar 258 juta jiwa. Jumlah ini bukanlah hal sepele, alasannya yakni ada kecenderungan bahwa semakin besar jumlah penduduk, semakin kompleks pula problem yang ditimbulkan, contohnya saja problem kelistrikan.
Listrik menjadi barang vital untuk negara sebesar Indonesia. Tanpa listrik, perekonomian nasional akan stagnan, melambat bahkan terancam bangkrut. Tak hanya itu, listrik juga mempunyai tugas penting di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Contoh sederhananya saja, listrik begitu besar menopang ketersediaan hiburan masyarakat.
Hingga kini, jumlah masyarakat Indonesia yang bisa menikmati listrik sanggup dikatakan masih kurang, khususnya di tempat perdesaan. Di perdesaan, masyarakat seringkali mengeluhkan pemadaman listrik. Pun, bagi yang sangat pelosok, mereka bahkan sangat sabar hidup dalam kegelapan malam dan siang tanpa listrik. Ini bukan opini belaka ternyata, alasannya yakni hingga 2014, BPS menyebutkan bahwa sekitar 2.519 desa di Indonesia ini belum terlistriki. Hingga tahun 2015 saja, rasio elektrifikasi di Indonesia masih sebesar 88,30. Artinya, dari total 100 persen masyarakat, ada sekitar 88,3 persen saja yang bisa menikmati listrik. Sedangkan sekitar 12,7 persennya lagi hidup tanpa listrik.
Persentase Masyarakat yang Menikmati Listrik dan Belum Menikmati Listrik di Perdesaan (diolah), sumber foto: dokpri.
Bila dilihat menurut data, rasio elektrifikasi Indonesia dari tahun 2006 hingga 2015 terus mengalami peningkatan. Di tahun 2006, besarnya rasio elektrifikasi hanya 63,0, namun terus mengalami peningkatan menjadi 88,3 di tahun 2015 (Dirjen MESDM, 2017). Jumlah masyarakat yang menikmati listrik memang meningkat, tapi yang masih menjadi pertanyaan kita yakni masyarakat mana yang menikmati listrik itu? Dan juga apakah telah merata di seluruh wilayah?
Rasio Elektrifikasi Indonesia 2006-2015 (diolah), sumber foto: dokpri
Inilah mengapa pada tahun ini (2017), pemerintah melalui RPJMN berkomitmen untuk mencapai rasio elektrifikasi hingga menyentuh angka 92,75 persen. Komitmen ini juga telah tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 38 Tahun 2016 perihal Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan Belum Berkembang, Terpencil, Perbatasan dan Pulau Kecil.
Kebijakan kelistrikan nasional ternyata memperlihatkan efek pada aspek demografi Indonesia. Dampak itu bukanlah isapan jempol, alasannya yakni ada kecenderung bisa menekan angka kelahiran.
Sekarang kita cek datanya, historikal data Total Fertility Rate (TFR) Indonesia selama 14 tahun memperlihatkan kecenderungan menurun. Artinya, jumlah kelahiran perempuan usia subur (WUS) selama masa hidupnya mengalami penurunan. Data kompilasi dari BPS, BKKBN, hasil Interpolasi serta data dari Hartono (2016) menyebutkan bahwa TFR Indonesia dari 2006 yang sebesar 2,20, menjadi 2,289 di tahun 2015.
Total Fertility Rate (TFR) Indonesia 2006-2015 (diolah), sumber foto: dokpri.
Angka tersebut sanggup kita artikan bahwa perempuan usia subur (WUS) di Indonesia selama masa hidupnya rata-rata melahirkan anak sebanyak 2 hingga 3 orang. Program "2 Anak Cukup" dan terus digencarkannya aktivitas Keluarga Berencana (KB) ternyata cukup hebat menekan angka kelahiran.
Namun ada satu fenomena gres yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia soal kelahiran ini. Berdasarkan pengalaman survei di lapangan, banyak masyarakat yang beropini bahwa kelahiran yang terjadi di dalam keluarganya itu akhir kurangnya hiburan disebabkan di tempat mereka belum ada listrik atau menikmati listrik dalam tempo singkat. Akhirnya, mereka berdalih anak banyak lantaran memang hiburannya yakni dengan istrinya saja.
Ada sebagian yang memang mempunyai media hiburan semisal televisi, radio dan HP. Tetapi lantaran listrik yang mereka nikmati sedikit atau bahkan tidak sama sekali menciptakan hiburan mereka hanyalah membahagiakan istri. Berawal dari fenomena ini, ternyata data juga berkata demikian.
Hasil kekerabatan antara rasio elektrifikasi dan TFR selama 14 tahun dari 2001 hingga 2015 yakni sebesar -0,12. Artinya, semakin besar rasio elektrifikasi ternyata cenderung memperkecil TFR. Semakin banyak masyarakat yang sanggup menikmati listrik, khususnya di perdesaan, ada kecenderungan bahwa akan menurunkan TFR. Sebab, jikalau listrik mengalir ke desa-desa, hiburan masyarakat akan semakin bervariasi dan tidak hanya membahagiakan istri yang berdampak pada membeludaknya jumlah kelahiran.(*)