Setiap orang bau tanah mempunyai impian anaknya menjadi orang pandai. Jika orang bau tanah kerjanya sebagai buruh tani, minimal anaknya jadi menteri. Jika orang bau tanah kerjanya lulusan SDTT, maksudnya SD Tidak Tamat, anaknya harus jadi Sarjana. Pun orang bau tanah juga berkeinginan anaknya mempunyai titel berantai-rantai. Tak cukup titel depan, Prof, Doktor, Insinyur, Donterandes, orang bau tanah ingin anaknya bertitel akhiran SPd., MPd., SH., MA., S.Si., MPd.i., SMS, dan lain-lain.
Jarang sekali ada orang bau tanah yang ingin anaknya senasib dengan dirinya. Untuk itu, mereka menyekolahkan anak-anaknya. Menyekolahkan anak pun masing-masing ada cirinya, tergantung hukum sekolah mana yang hendak dituju.
Sebagai sebuah institusi pendidikan, setiap sekolah mempunyai standard penerimaan siswa barunya. Salah satunya yaitu usia siswa pada waktu pendaftaran. Hal ini penting mengingat usia sekolah seyogyanya relevan dengan jenjang pendidikan yang didapat siswa.
Kendati demikian, tak semua sekolah menerapkan hukum ibarat itu. Ada saja sekolah yang mendapatkan calon siswa, meskipun ia berusia di bawah usia jenjang sekolah yang seharusnya. Fenomena ini banyak terjadi di perdesaan, anak gres usia 6 tahun sudah masuk pada jenjang SD. Belum lagi siswa yang seharusnya naik kelas atau lulus SD, malah tinggal kelas atau tak lulus.
Sekarang kita coba cek datanya. Badan Pusat Statistik (2016) mempunyai sebuah angka yang namanya Angka Partisipasi Kasar (APK). Khusus APK jenjang pendidikan SD, angka tersebut merupakan persentase jumlah siswa SD sederajat usia terhadap jumlah penduduk usia sekolah SD sederajat (usia 7-12 tahun). Nah, ternyata nilai APK SD Indonesia tahun 2016 yaitu sebesar 109,20 persen.
"Waduh!, Kok nilainya lebih dari 100 persen, apa dong artinya?"
Artinya gampang saja. Bila nilai APK SD kurang atau melebihi 100 persen, maka diindikasikan terdapat siswa SD yang bersama-sama belum usianya masuk SD, namun sekolah menerimannya masuk SD. Atau terdapat sejumlah siswa SD yang tinggal kelas, tidak lulus atau seorang anak lompat kelas (akselerasi) yang menimbulkan usianya kurang dari atau melebihi usia normal jenjang pendidikan SD, 7-12 tahun.
Pendidikan terlalu dini pada bawah umur sebelum usianya memang sah-sah saja. Sebab dari aspek kemampuan menangkap ilmu pun dinilai banyak pihak lebih gampang dan cepat. Pun aspek kognitif lainnya juga masih dalam taraf pertumbuhan dan perkembangan. Asupan serta didikan yang baik tentu diperlukan bisa menjamin masa depannya.
Tapi tahukah kita, bahwa sekolah terlalu dini ternyata berdampak jelek pula lho pada anak. Terlalu dini dalam artian, belum usia sekolah pada jenjang tertentu malah "dipaksa" untuk sekolah. Gampangnya sekolah sebelum pas usianya. Mengapa demikian?
Hasil riset menandakan bahwa anak yang masih terlalu muda kemudian dipaksa bersekolah yang tak sesuai dengan usianya mempunyai potensi mengalami gangguan kejiwaan (Tempo, 2016). Logikanya memang benar, anak yang semestinya bersosialisasi dengan lingkungan sebayanya, malah ia bersosialisasi dengan anak yang lebih bau tanah darinya. Situasi ini tentu berpotensi besar menimbulkan tekanan psikis yang besar. Tak dipungkiri bila banyak perkara bullying terjadi pada anak yang lingkungan sebanyanya lebih bau tanah darinya.
Bukan cuma itu, potensi tekanan lainnya muncul dari beban mencar ilmu yang harus diemban. Belum waktunya mencar ilmu soal bagaimana siklus hujan terjadi, seorang anak sudah "terpaksa" mempelajarinya. Tambahan lagi, bermacam-macam bentuk kiprah dengan tingkat kesulitan yang normalnya dikerjakan oleh anak berusia di atasnya, harus ia selesaikan. Akibatnya, psikis anak mendapat banyak sekali tekanan dan bila ia tak kuat, maka akan menimbulkan gangguan pada kejiwaannya.
Hasil studi empiris yang pernah dilakukan Taipei Veterans Hospital Taiwan mengungkapkan bahwa bawah umur yang lahir kurang dari atau berdekatan dengan usia untuk memasuki jenjang kelas mempunyai kerentanan terhadap sindrom hiperaktif (Tempo, 2016). Dampak ini tentu kita tahu lebih disebabkan lantaran lingkungan sosialisasi anak yang lebih bau tanah darinya. Sebagai elemen pembentuk karakter, lingkungan sekolah yang "lebih tua" tak sanggup menjamin kepribadian seorang anak akan baik.
Banyak pretensi dan tendensi, lingkungan yang demikian justru mengarah pada pembentukan prilaku anak yang buruk. Hiperaktif pun perlu untuk diarahkan pada hal-hal yang membangun kognitif serta huruf anak. Dengan demikian, sedikit banyak efek lingkungan yang "lebih tua" itu tak berakibat jelek pada pertumbuhan psikis dan mentalnya.(*)
Sumber data: BPS pada jenjang pendidikan formal
Jarang sekali ada orang bau tanah yang ingin anaknya senasib dengan dirinya. Untuk itu, mereka menyekolahkan anak-anaknya. Menyekolahkan anak pun masing-masing ada cirinya, tergantung hukum sekolah mana yang hendak dituju.
Sebagai sebuah institusi pendidikan, setiap sekolah mempunyai standard penerimaan siswa barunya. Salah satunya yaitu usia siswa pada waktu pendaftaran. Hal ini penting mengingat usia sekolah seyogyanya relevan dengan jenjang pendidikan yang didapat siswa.
Kendati demikian, tak semua sekolah menerapkan hukum ibarat itu. Ada saja sekolah yang mendapatkan calon siswa, meskipun ia berusia di bawah usia jenjang sekolah yang seharusnya. Fenomena ini banyak terjadi di perdesaan, anak gres usia 6 tahun sudah masuk pada jenjang SD. Belum lagi siswa yang seharusnya naik kelas atau lulus SD, malah tinggal kelas atau tak lulus.
Sekarang kita coba cek datanya. Badan Pusat Statistik (2016) mempunyai sebuah angka yang namanya Angka Partisipasi Kasar (APK). Khusus APK jenjang pendidikan SD, angka tersebut merupakan persentase jumlah siswa SD sederajat usia terhadap jumlah penduduk usia sekolah SD sederajat (usia 7-12 tahun). Nah, ternyata nilai APK SD Indonesia tahun 2016 yaitu sebesar 109,20 persen.
"Waduh!, Kok nilainya lebih dari 100 persen, apa dong artinya?"
Artinya gampang saja. Bila nilai APK SD kurang atau melebihi 100 persen, maka diindikasikan terdapat siswa SD yang bersama-sama belum usianya masuk SD, namun sekolah menerimannya masuk SD. Atau terdapat sejumlah siswa SD yang tinggal kelas, tidak lulus atau seorang anak lompat kelas (akselerasi) yang menimbulkan usianya kurang dari atau melebihi usia normal jenjang pendidikan SD, 7-12 tahun.
Pendidikan terlalu dini pada bawah umur sebelum usianya memang sah-sah saja. Sebab dari aspek kemampuan menangkap ilmu pun dinilai banyak pihak lebih gampang dan cepat. Pun aspek kognitif lainnya juga masih dalam taraf pertumbuhan dan perkembangan. Asupan serta didikan yang baik tentu diperlukan bisa menjamin masa depannya.
Tapi tahukah kita, bahwa sekolah terlalu dini ternyata berdampak jelek pula lho pada anak. Terlalu dini dalam artian, belum usia sekolah pada jenjang tertentu malah "dipaksa" untuk sekolah. Gampangnya sekolah sebelum pas usianya. Mengapa demikian?
Hasil riset menandakan bahwa anak yang masih terlalu muda kemudian dipaksa bersekolah yang tak sesuai dengan usianya mempunyai potensi mengalami gangguan kejiwaan (Tempo, 2016). Logikanya memang benar, anak yang semestinya bersosialisasi dengan lingkungan sebayanya, malah ia bersosialisasi dengan anak yang lebih bau tanah darinya. Situasi ini tentu berpotensi besar menimbulkan tekanan psikis yang besar. Tak dipungkiri bila banyak perkara bullying terjadi pada anak yang lingkungan sebanyanya lebih bau tanah darinya.
Bukan cuma itu, potensi tekanan lainnya muncul dari beban mencar ilmu yang harus diemban. Belum waktunya mencar ilmu soal bagaimana siklus hujan terjadi, seorang anak sudah "terpaksa" mempelajarinya. Tambahan lagi, bermacam-macam bentuk kiprah dengan tingkat kesulitan yang normalnya dikerjakan oleh anak berusia di atasnya, harus ia selesaikan. Akibatnya, psikis anak mendapat banyak sekali tekanan dan bila ia tak kuat, maka akan menimbulkan gangguan pada kejiwaannya.
Hasil studi empiris yang pernah dilakukan Taipei Veterans Hospital Taiwan mengungkapkan bahwa bawah umur yang lahir kurang dari atau berdekatan dengan usia untuk memasuki jenjang kelas mempunyai kerentanan terhadap sindrom hiperaktif (Tempo, 2016). Dampak ini tentu kita tahu lebih disebabkan lantaran lingkungan sosialisasi anak yang lebih bau tanah darinya. Sebagai elemen pembentuk karakter, lingkungan sekolah yang "lebih tua" tak sanggup menjamin kepribadian seorang anak akan baik.
Banyak pretensi dan tendensi, lingkungan yang demikian justru mengarah pada pembentukan prilaku anak yang buruk. Hiperaktif pun perlu untuk diarahkan pada hal-hal yang membangun kognitif serta huruf anak. Dengan demikian, sedikit banyak efek lingkungan yang "lebih tua" itu tak berakibat jelek pada pertumbuhan psikis dan mentalnya.(*)
Sumber data: BPS pada jenjang pendidikan formal
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/