![]() |
Sebuah analisis sederhana |
Sudah setengah tahun lebih, harga tiket pesawat seluruh maskapai yang beroperasi di Indonesia mengalami kenaikan. Hal tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat terutama mereka yang menjalani hidup di perantauan, entah dalam rangka transmigrasi, menuntut ilmu, entah bekerja kontrak.
Mobilitas masyarakat yang demikian tinggi tentu menuntut negara untuk menghadirkan pelayanan transportasi antar wilayah, utamanya antar provinsi di seluruh Indonesia. Tak hanya berdampak pada mobilitas masyarakat, pelayanan transportasi juga memberi sumbangsih besar dalam menggerakkan perekonomian melalui arus perdagangan antar regional. Namun, hal itu tidak terjadi untuk jenis transportasi udara yang notabene memakai pesawat.
Kira-kira bulan Desember 2018, harga tiket pesawat udara di Indonesia merangkak naik dari harga sebelumnya. Lebih-lebih menjelang awal tahun 2019 lalu, terjadi kecelakaan pesawat bermaskapai Lion Air yang hilang kontak sekaligus menelan korban. Dengan alasan meningkatkan pelayanan dan keamanan transportasi udara, maskapai menegaskan kembali adanya kenaikan harga tiket pesawat.
Pemerintah dalam situasi itu agaknya tidak berbuat lebih, karena kepemilikan aset serta pengelolaan aset transportasi udara itu tidak semuanya berada di bawah naungan BUMN, melainkan juga menjadi milik swasta. Tarik-ulur kebijakan harga tiket pesawat pun tampak berlarut-larut, terlebih sekitar bulan Juni 2019, di Indonesia sudah masuk bulan Puasa. Masyarakat dibentuk kebingungan karena adanya ketidakpastian langkah pemerintah untuk bisa mengendalikan harga tiket pesawat. Tak sedikit perantau yang mengeluhkan ketidakjelasan pemerintah dalam mengatur harga tiket sampai-sampai harganya tak sepadan dengan pendapatan masyarakat sehari-hari sebagai perantau.
![]() |
Andil transportasi terhadap inflasi Desember 2018, sumber: bps.go.id |
Bila kita amati bersama, andil transportasi terhadap inflasi bulan Desember 2019 bisa dikatakan besar, bahkan hampir menyamai andil materi makanan. Ini sekilas memperlihatkan bahwa transportasi pada dikala tertentu bisa jadi menjadi prioritas utama yang diperlukan masyarakat. Namun, karena pendapatan riil masyarakat yang tidak bisa menjangkau akomodasi tersebut, maka berdampak menyumbang besaran angka inflasi.
Khusus harga tiket pesawat sendiri, kepala Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa situasi kini ini tidak biasa. Menurutnya, kalau dilihat pattern tahun lalu, angkutan udara memberi andil inflasi di beberapa bulan tertentu, menyerupai hari raya dan libur sekolah. Ini agak aneh, karena harga tarif tiket pesawat tidak biasa semenjak Januari 2019 (cnnindonesia, 1/4/2019).
![]() |
Andil transportasi terhadap inflasi Maret 2019, sumber: bps.go.id |
Pada Maret 2019, andil dari transportasi secara umum terhadap besarnya inflasi sebesar 0,02 persen. Hal ini masih mengindikasikan bahwa dampak dari kenaikan harga tiket pesawat sepanjang Januari hingga Maret masih dirasakan oleh masyarakat.
![]() |
Andil transportasi terhadap inflasi April 2019, sumber: bps.go.id |
Meski di satu sisi, akomodasi yang mendukung transportasi darat dan maritim sudah ditingkatkan oleh pemerintah. Ada beberapa hambatan yang menjadikan transportasi udara bekerjsama menjadi pilihan masyarakat. Salah satunya karena transportasi udara dinilai lebih efisien waktu dalam mendukung perjalanan serta pulang kampung jelang Idul Fitri tahun 2019. Hal kedua yang menjadi pertimbangan masyarakat untuk lebih menentukan transportasi udara yaitu karena situasi maritim yang tidak stabil beberapa bulan terakhir. Gelombang maritim yang tinggi disertai angin yang kencan di beberapa kawasan menjadikan risiko perjalanan melalui maritim meningkat.
Berdasarkan data BPS, andil transportasi terhadap besarnya inflasi bulan April sedikit meningkat, menjadi 0,05 persen. Kendati di satu sisi, tiket pesawat demikian tinggi, banyak masyarakat yang justru tetapkan beralih pada transportasi darat dan laut. Harga tiket pesawat yang masih belum bisa dinego oleh pemerintah menjadikan pengaruhnya terhadap besaran inflasi masih tinggi.
Penumpang pesawat turun drastis
Sepertinya kinerja transportasi udara tahun 2019 menurun drastis. Data BPS memperlihatkan bahwa jumlah penumpang pesawat pada Januari-April 2018 mencapai 29 juta orang, sementara pada tahun ini jumlahnya hanya sekitar 24 juta orang. Tercatat, pada April 2019 lalu, jumlah penumpang pesawat hanya sekitar 5,66 juta orang. Kondisi ini terlihat menurun sebanyak 370.000 dibanding bulan Maret 2019 yang mencapai 6,03 juta orang.
Penurunan jumlah penumpang ini intinya bisa kita jadikan sebanyak suatu keniscayaan dalam perekonomian. Ketika harga tiket melambung dan tidak terkendali, maka nilai riil dari pendapatan masyarakat yang berkebutuhan terhadap tiket pesawat akan melemah. Harga penawaran dari maskapai tidak bisa diraih oleh pendapatan riil masyarakat sehingga mereka menahan pengeluarannya untuk bepergian memakai transportasi udara.
Di tinjau dari sisi permintaan, harga tiket pesawat yang mahal mengakibatkan masyarakat menurunkan kuantitas kebutuhannya terhadap tiket pesawat. Bila tidak menahan, mereka mengurangi frekuensi perjalanan memakai pesawat, bahkan beralih untuk memakai transportasi darat atau laut. Hal inilah yang mengakibatkan jumlah penumpang pesawat pada Januari-April 2019 turun drastis.
Alih-alih biaya operasional maskapai merangkak naik serta pergerakan rupiah yang mengalami depresiasi, pemerintah yang mempunyai power pun tidak bisa berkutik memberi solusi untuk menekan harga tiket pesawat. Malah, yang beredar di media daring, pemerintah tampak saling lempar tanggung jawab terhadap naiknya level harga terendah tiket pesawat.
Maskapai pun memperlihatkan penegasan bahwa memang bekerjsama dorongan menaikkan harga tiket itu sudah usang direncanakan. Sebab, biaya operasional bandara dan akomodasi pendukung transportasi udara juga membengkak. Namun sayangnya, kurangnya sosialisasi kepada masyarakat menimbulkan terjadinya shock ekonomi sehingga menyumbang inflasi hingga detik ini.
Maskapai asing masuk Indonesia?
Inilah tentang yang sempat menciptakan masyarakat menjadi pesimis dengan kinerja pemerintah. Di dikala rupiah beberapa bulan kemudian mengalami depresiasi terhadap dolar Amerika, pemerintah malah mengompori akan hadirnya maskapai penerbangan asing masuk dan beroperasi di Indonesia.
Hal ini seakan-akan pemerintah tidak mau kecolongan untuk mendapat dolar untuk mereka pegang mengingat rupiah yang beberapa waktu tertekan. Di dikala keharusan untuk membela rupiah jawaban tertekan dan sempat menimbulkan pesimistis, malah mereka juga ingin meraup dan menentukan untuk memegang uang asing ketimbang rupiah sendiri. Ini kan aneh.
Semestinya ketika rupiah tertekan oleh embargo peperangan dagang sedemikian rupa sehingga berdampak pada tingginya biaya operasional transportasi udara karena secara riil pesimis, semestinya kran maskapai asing masuk ke Indonesia tidaklah didengungkan kepada masyarakat.
Walaupun dalihnya akan meningkatkan tingkat persaingan perjuangan penerbangan dalam negeri, pada waktu yang sama malah berpotensi untuk menggelontorkan anutan dana kepada pihak asing. Seolah sudah jatuh tertimpa tangga, bukan? (*).
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/