GDP Tradable dan Non-tradable Indonesia, sumber foto: faisalbasri.com diolah dari BPS
Sebagai sebuah negara yang masih berkembang, Indonesia tak luput dari acara perdagangan internasional. Perdagangan internasional mencakup dua aktivitas, adalah ekspor dan impor. Ini merupakan konsekuensi logis bahwa suatu negara, menyerupai halnya Indonesia, mempunyai keunggulan dan kelemahan.
Ketika dalam kondisi membutuhkan suatu komoditas, Indonesia adakalanya memenuhi dari stok dalam negeri. Namun tatkala butuh komoditas yang memang belum ada di dalam, mau tak mau Indonesia harus impor.
Ekspor dan impor sangat terkait dengan suatu ukuran yang disebut keterbukaan ekonomi (Openness). Secara konsep, keterbukaan ekonomi menjadi indikator seberapa terbukanya suatu negara dalam transaksi perdagangan internasional. Keterbukaan ekonomi dihitung dari rasio penjumlahan ekspor dan impor terhadap PDB.
Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi kuartal II 2017. Pertumbuhan ekonomi kuartal II sebesar 5,01 persen. Relatif sama dengan kuartal sebelumnya.
Dilihat dari penyumbang pertumbuhan, acara ekspor dan impor nampaknya masih positif, meski lebih kecil dari kuartal I 2017. Pertumbuhan ekspor netto kuartal II sebesar 0,59 persen, lebih kecil dari yang sebelumnya mencapai 0,75 persen. Menurut Faisal Basri (2017), ini menunjukkan bahwa derajat keterbukaan ekonomi Indonesia cenderung menurun. Kecenderungan ini memang terjadi hampir selama 16 tahun terakhir.
Persentase GDP Tradable dan Non-tradable Terhadap Total GDP, sumber foto: faisalbasri.com diolah dari BPS
Jika ditelisik dari persentase GDP tradable (penghasil barang) dengan GDP non-tradable (penghasil jasa) terlihat timpang. Ini mengindikasikan bahwa deindustrialisasi masih berlangsung di Indonesia. Peran industri manufaktur yang menurun ketimbang lapangan perjuangan jasa mengakibatkan perekonomian nasional melambat.
Ketimpangan inilah yang berdasarkan Faisal Basri berdampak pada penyempitan keterbukaan ekonomi. Saat Indonesia benar-benar butuh suatu komoditas, ada hal yang justru mempersulit impor. Sebaliknya, dikala Indonesia berpotensi mengekspor komoditas tertentu, ada faktor penghambat realisasi ekspor.
Indeks Kebebasan Ekonomi Indonesia Peringkat 84 dari 180 Negara, sumber foto: heritage.com
Terkait kondisi tersebut, situs heritage.com(2017) menyebutkan bahwa kebebasan pasar Indonesia mencapai angka 80,5 poin. Artinya pasar yang available di Indonesia relatif 'welcome' terhadap arus komoditas.
Apalagi katanya sih, Indonesia sudah ikut dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), bendungan komoditas luar negeri sudah semestinya dibuka secara lebar meski dengan batasan-batasan tertentu. Terbuka boleh-boleh saja, asal ada kadarnya. Sebab, terlalu banyak membuka kran ekspor dan impor menciptakan stabilitas ekonomi nasional juga bakal dipengaruhi oleh naik-turunnya kurs mata uang. Ini memerlukan kontrol penuh dari pemerintah sebagai policy maker, khususnya sebagai upaya menciptakan perekonomian berkualitas, meski ekonomi tumbuhnya lambat.(*)
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/Sebagai sebuah negara yang masih berkembang, Indonesia tak luput dari acara perdagangan internasional. Perdagangan internasional mencakup dua aktivitas, adalah ekspor dan impor. Ini merupakan konsekuensi logis bahwa suatu negara, menyerupai halnya Indonesia, mempunyai keunggulan dan kelemahan.
Ketika dalam kondisi membutuhkan suatu komoditas, Indonesia adakalanya memenuhi dari stok dalam negeri. Namun tatkala butuh komoditas yang memang belum ada di dalam, mau tak mau Indonesia harus impor.
Ekspor dan impor sangat terkait dengan suatu ukuran yang disebut keterbukaan ekonomi (Openness). Secara konsep, keterbukaan ekonomi menjadi indikator seberapa terbukanya suatu negara dalam transaksi perdagangan internasional. Keterbukaan ekonomi dihitung dari rasio penjumlahan ekspor dan impor terhadap PDB.
Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi kuartal II 2017. Pertumbuhan ekonomi kuartal II sebesar 5,01 persen. Relatif sama dengan kuartal sebelumnya.
Dilihat dari penyumbang pertumbuhan, acara ekspor dan impor nampaknya masih positif, meski lebih kecil dari kuartal I 2017. Pertumbuhan ekspor netto kuartal II sebesar 0,59 persen, lebih kecil dari yang sebelumnya mencapai 0,75 persen. Menurut Faisal Basri (2017), ini menunjukkan bahwa derajat keterbukaan ekonomi Indonesia cenderung menurun. Kecenderungan ini memang terjadi hampir selama 16 tahun terakhir.
Persentase GDP Tradable dan Non-tradable Terhadap Total GDP, sumber foto: faisalbasri.com diolah dari BPS
Jika ditelisik dari persentase GDP tradable (penghasil barang) dengan GDP non-tradable (penghasil jasa) terlihat timpang. Ini mengindikasikan bahwa deindustrialisasi masih berlangsung di Indonesia. Peran industri manufaktur yang menurun ketimbang lapangan perjuangan jasa mengakibatkan perekonomian nasional melambat.
Ketimpangan inilah yang berdasarkan Faisal Basri berdampak pada penyempitan keterbukaan ekonomi. Saat Indonesia benar-benar butuh suatu komoditas, ada hal yang justru mempersulit impor. Sebaliknya, dikala Indonesia berpotensi mengekspor komoditas tertentu, ada faktor penghambat realisasi ekspor.
Indeks Kebebasan Ekonomi Indonesia Peringkat 84 dari 180 Negara, sumber foto: heritage.com
Terkait kondisi tersebut, situs heritage.com(2017) menyebutkan bahwa kebebasan pasar Indonesia mencapai angka 80,5 poin. Artinya pasar yang available di Indonesia relatif 'welcome' terhadap arus komoditas.
Apalagi katanya sih, Indonesia sudah ikut dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), bendungan komoditas luar negeri sudah semestinya dibuka secara lebar meski dengan batasan-batasan tertentu. Terbuka boleh-boleh saja, asal ada kadarnya. Sebab, terlalu banyak membuka kran ekspor dan impor menciptakan stabilitas ekonomi nasional juga bakal dipengaruhi oleh naik-turunnya kurs mata uang. Ini memerlukan kontrol penuh dari pemerintah sebagai policy maker, khususnya sebagai upaya menciptakan perekonomian berkualitas, meski ekonomi tumbuhnya lambat.(*)