Begitu pentingnya data sebagai materi perumusan kebijakan pembangunan. Tanpa data, tentu pembangunan akan ngawur dan tidak sempurna guna. Tapi sekarang, yang masih menjadi permasalahan di Indonesia ialah bagaimana menghasilkan data yang berkualitas.
Kalau soal kuantitas data, Indonesia sudah punya banyak jenis datanya. Tapi soal kualitas, tampaknya perlu untuk menjadi perhatian bersama seluruh elemen bangsa. Data tak mungkin berkualitas tanpa adanya kesadaran masyarakat perihal pentingnya data itu sendiri. Sebagian masyarakat masih menganggap data mereka didapatkan dan hilang begitu saja. Petugas pengambil data hanya menyita waktu mereka tanpa adanya "hasil" yang berdampak eksklusif pada kehidupannya. Inilah mengapa, acapkali masyarakat merasa jengah atau bosan ketika petugas pengambil data tiba dari rumah ke rumah.
Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan satu-satunya otoritas bank data Indonesia dikala ini yang menjadi referensi pemerintah. Di dalam setiap kegiatannya, BPS bergotong-royong telah merancang Standard Operation Procedure (SOP) yang terperinci semoga tidak terjadi benturan etika selama pelaksanaan kegiatan statistik berlangsung. Salah satunya mengenai bagaimana petugas BPS melaksanakan komunikasi terlebih dahulu dengan aparatur unit pemerintah dari kecamatan sampai desa sebelum melaksanakan pencacahan terhadap responden. Kalaupun dalam kenyataan, masyarakat masih menemukan petugas BPS yang melenceng dari SOP, tentunya masyarakat juga sebaiknya mengklarifikasi ulang kebenarannya. Sebab, dalam setiap kesempatan BPS selalu melaksanakan kegiatan pembinaan petugas pencacah lapangan sebelum pelaksanaan kegiatan statistik. Salah satunya ialah bagaimana tatacara laporan kepada perangkat wilayah setempat sebagai etika pelaksanaan kegiatan statistik. Ya, istilahnya permisi dulu sebelum masuk ke rumah masyarakat.
Beberapa bulan lalu, di sebuah siaran televisi swasta terdapat pemberitaan miring soal etika pelaksanaan kegiatan statistik yang dilakukan oleh BPS. Menurut wawancara singkat di televisi itu menyebutkan bahwa petugas BPS tidak pernah melapor dulu kepada kepala desa sebelum melaksanakan pencacahan ke rumah warga. Lantas apakah benar demikian? BPS secara cepat mengklarifikasi pernyataan dalam wawancara tersebut dan memberi balasan bahwa petugas BPS justru tidak melapor dikarenakan kepala desanya sudah berganti dan belum sempat berkomunikasi. Ini masih dalam taraf bagaimana etika pelaksanaan kegiatan statistik saja, belum yang lainnya.
Untuk menuju hasil berupa data yang berkualitas, tantangan yang dihadapi oleh BPS pun semakin besar rupanya. Beberapa waktu lalu, situs jangkaindonesia.com (7/09/2017) (berita sanggup Anda baca di sini) memuat sebuah isu terkait kualitas data yang dikumpulkan oleh BPS. Judulnya demikian menyolok mata, yaitu:
Dalam situs tersebut, Sekretaris Daerah (Sekda) Belu juga mengungkapkan bahwa:
Data yang dibentuk BPS ini belum akurat atau janggal. Untuk tahun 2017 ini masih banyak orang miskin tidak tercatat sebagai akseptor raskin
Entah apakah ada semacam pemelitiran redaksi yang dilakukan oleh media tersebut entah tidak. Namun absurd rasanya bila BPS mempunyai kiprah membuat data. BPS tidak menciptakan data, tetapi BPS ialah lembaga yang mengumpulkan data. BPS hanya memotret fenomena yang ada, buka menciptakan data di atas meja untuk menyenangkan hati penguasa. Lebih lanjut, Sekda Belu juga menuturkan bahwa:
Menurut saya data kurang akurat, karena ada warga yang dulu tidak miskin, kini masuk jadi daftar miskin dan terima raskin, sementara yang benar-benar miskin nama tidak ada
Coba kita telisik kalimat redaksi pemberitaan tersebut. Sudah menjadi budayanya BPS, bahwa setiap akan melaksanakan pengambilan sampel, BPS selalu melaksanakan kegiatan yang namanya ialah updating rumah tangga. Kegiatan ini sudah masuk dalam SOP kegiatan statistik BPS yang tentunya diberlakukan hukuman apabila ada petugas yang melanggarnya. Dalam kegiatan updating, petugas memperbarui data setiap kepala rumah tangga termasuk anggota rumah tangga di dalamnya, termasuk melaksanakan konfirmasi apakah perubahan yang ada. Terkait kalimat tersebut, ada kemungkinan memang terjadi perubahan level ekonomi seseorang setiap waktunya. Bisa jadi, seseorang dianggap sebagai orang yang kaya, namun dua hari yang lalu, ia terkena petaka dan usahanya gulung tikar. Kan, sanggup saja? Inilah mengapa BPS selalu melaksanakan updating. Karena salah satu syarat data yang berkualitas ialah memenuhi sifat kekinian (up to date).
Sedangkan untuk pernyataan selanjutnya, tentu baik BPS dan Sekda perlu melaksanakan penjelasan bersama. Inilah mengapa, dalam setiap kegiatan yang dilakukan BPS, Pemda semestinya ikut andil. Bukan untuk mengintervensi. Bukan. Tetapi melaksanakan sebuah lembaga diskusi dan sinkronisasi data yang telah dikumpulkan oleh BPS. Ini semestinya, namun dalam kenyataannya, hanya beberapa kawasan saja di Indonesia yang sanggup menerapkan hal semacam itu. Dengan demikian, apabila terdapat kekeliruan data yang dikumpulkan oleh BPS, dengan cepat sanggup diperbaiki. Sebenarnya BPS sendiri telah menerapkan Forum Group Discussion (FGD), khususnya dalam melaksanakan updating masyarakat miskin. Dalam FGD ini, petugas BPS melaksanakan sharing and connecting dengan aparatur desa dan tokoh masyarakat untuk melaksanakan penjelasan sekaligus konfirmasi mengenai sejumlah masyarakat miskin yang ada di desa. Dalam lembaga singkat tersebut juga diputuskan sejumlah nama penduduk desa yang benar-benar miskin. Jadi, terasa absurd apabila terdapat pemberitaan perihal teknik BPS yang seperti seenaknya memasukkan atau mengeluarkan masyarakat miskin dari daftar updating.
Sebetulnya, data yang diperoleh oleh BPS bakal sesuai harapan, yakni data yang berkualitas. Namun, dikala ini kunci apakah sebuah data berkualitas atau tidak itu terdapat pada responden. Sampai detik ini, BPS selalu mengumandangkan kepada responden untuk memberikan informasi yang jujur dan apa adanya. Bagaimana mungkin data BPS akan berkualitas apabila di dalam setiap kegiatan statistik yang didapat hanya keterangan palsu, informasi bohong, atau data "sampah" dari responden. Kasus demikian nampak terang dikala berkaitan dengan kemiskinan, masyarakat masih menilai jikalau ada pendataan BPS, maka mereka akan mendapat bantuan. Padahal, BPS hanya mengumpulkan data saja, tidak berwenang memilih apakah kelak digelontorkan pertolongan atau tidak.
Selain ketidakpahaman masyarakat terhadap pentingnya data yang akurat, ada sebagian lagi yang belum tahu mengenai upaya BPS dalam melindungi data. Saban waktu, petugas BPS menyatakan bahwa Data Responden Dirahasiakan, namun tetap saja responden tak mau memperlihatkan informasi yang jujur kepada petugas BPS. Sebagai lembaga negara dalam bidang statistik, BPS juga mempunyai payung aturan berpengaruh terhadap perlindungan data responden, contohnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Statistik. Di dalamnya terperinci tertuang bahwa data responden itu akan dirahasiakan. Buktinya, dalam semua publikasi BPS, tidak tercantum nama kepala rumah tangga atau data individu perusahaan. Data yang disajikan oleh BPS ialah data agregat dan itu wajib dilindungi oleh negara. Tidak hanya oleh BPS saja.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa data BPS itu akan akurat dan berkualitas jikalau dalam pelaksanaannya didukung oleh pemerintah sentra dan daerah. Lebih penting lagi, kualitas data sejatinya berada di tangan responden. Oleh karenanya, untuk mendapat data yang berkualitas, responden terkena sampel atau sensus BPS hendaknya memperlihatkan informasi dan data yang berkualitas pula sehingga himpunan data BPS juga merupakan data berkualitas pula. Sebaliknya, bila datanya saja tidak berkualitas, lantas dengan dasar apa kita membangun negara ini?
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/
Kalau soal kuantitas data, Indonesia sudah punya banyak jenis datanya. Tapi soal kualitas, tampaknya perlu untuk menjadi perhatian bersama seluruh elemen bangsa. Data tak mungkin berkualitas tanpa adanya kesadaran masyarakat perihal pentingnya data itu sendiri. Sebagian masyarakat masih menganggap data mereka didapatkan dan hilang begitu saja. Petugas pengambil data hanya menyita waktu mereka tanpa adanya "hasil" yang berdampak eksklusif pada kehidupannya. Inilah mengapa, acapkali masyarakat merasa jengah atau bosan ketika petugas pengambil data tiba dari rumah ke rumah.
Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan satu-satunya otoritas bank data Indonesia dikala ini yang menjadi referensi pemerintah. Di dalam setiap kegiatannya, BPS bergotong-royong telah merancang Standard Operation Procedure (SOP) yang terperinci semoga tidak terjadi benturan etika selama pelaksanaan kegiatan statistik berlangsung. Salah satunya mengenai bagaimana petugas BPS melaksanakan komunikasi terlebih dahulu dengan aparatur unit pemerintah dari kecamatan sampai desa sebelum melaksanakan pencacahan terhadap responden. Kalaupun dalam kenyataan, masyarakat masih menemukan petugas BPS yang melenceng dari SOP, tentunya masyarakat juga sebaiknya mengklarifikasi ulang kebenarannya. Sebab, dalam setiap kesempatan BPS selalu melaksanakan kegiatan pembinaan petugas pencacah lapangan sebelum pelaksanaan kegiatan statistik. Salah satunya ialah bagaimana tatacara laporan kepada perangkat wilayah setempat sebagai etika pelaksanaan kegiatan statistik. Ya, istilahnya permisi dulu sebelum masuk ke rumah masyarakat.
Beberapa bulan lalu, di sebuah siaran televisi swasta terdapat pemberitaan miring soal etika pelaksanaan kegiatan statistik yang dilakukan oleh BPS. Menurut wawancara singkat di televisi itu menyebutkan bahwa petugas BPS tidak pernah melapor dulu kepada kepala desa sebelum melaksanakan pencacahan ke rumah warga. Lantas apakah benar demikian? BPS secara cepat mengklarifikasi pernyataan dalam wawancara tersebut dan memberi balasan bahwa petugas BPS justru tidak melapor dikarenakan kepala desanya sudah berganti dan belum sempat berkomunikasi. Ini masih dalam taraf bagaimana etika pelaksanaan kegiatan statistik saja, belum yang lainnya.
Untuk menuju hasil berupa data yang berkualitas, tantangan yang dihadapi oleh BPS pun semakin besar rupanya. Beberapa waktu lalu, situs jangkaindonesia.com (7/09/2017) (berita sanggup Anda baca di sini) memuat sebuah isu terkait kualitas data yang dikumpulkan oleh BPS. Judulnya demikian menyolok mata, yaitu:
"Data BPS tidak Akurat, Banyak Warga Belu Tak Dapat Raskin"
Dari judul saja sudah memiriskan. Memang benar bahwa kualitas suatu data salah satunya diindikasikan dari seberapa akurat data itu. Tetapi, dalam hal kiprah dan fungsi, BPS hanya merupakan pihak yang mengumpulkan data. Sekali lagi hanya mengumpulkan data. Soal apakah kebijakannya tidak sama persis dengan data BPS, itu sudah masuk dalam pembahasan lain.Dalam situs tersebut, Sekretaris Daerah (Sekda) Belu juga mengungkapkan bahwa:
Data yang dibentuk BPS ini belum akurat atau janggal. Untuk tahun 2017 ini masih banyak orang miskin tidak tercatat sebagai akseptor raskin
Entah apakah ada semacam pemelitiran redaksi yang dilakukan oleh media tersebut entah tidak. Namun absurd rasanya bila BPS mempunyai kiprah membuat data. BPS tidak menciptakan data, tetapi BPS ialah lembaga yang mengumpulkan data. BPS hanya memotret fenomena yang ada, buka menciptakan data di atas meja untuk menyenangkan hati penguasa. Lebih lanjut, Sekda Belu juga menuturkan bahwa:
Menurut saya data kurang akurat, karena ada warga yang dulu tidak miskin, kini masuk jadi daftar miskin dan terima raskin, sementara yang benar-benar miskin nama tidak ada
Coba kita telisik kalimat redaksi pemberitaan tersebut. Sudah menjadi budayanya BPS, bahwa setiap akan melaksanakan pengambilan sampel, BPS selalu melaksanakan kegiatan yang namanya ialah updating rumah tangga. Kegiatan ini sudah masuk dalam SOP kegiatan statistik BPS yang tentunya diberlakukan hukuman apabila ada petugas yang melanggarnya. Dalam kegiatan updating, petugas memperbarui data setiap kepala rumah tangga termasuk anggota rumah tangga di dalamnya, termasuk melaksanakan konfirmasi apakah perubahan yang ada. Terkait kalimat tersebut, ada kemungkinan memang terjadi perubahan level ekonomi seseorang setiap waktunya. Bisa jadi, seseorang dianggap sebagai orang yang kaya, namun dua hari yang lalu, ia terkena petaka dan usahanya gulung tikar. Kan, sanggup saja? Inilah mengapa BPS selalu melaksanakan updating. Karena salah satu syarat data yang berkualitas ialah memenuhi sifat kekinian (up to date).
Sedangkan untuk pernyataan selanjutnya, tentu baik BPS dan Sekda perlu melaksanakan penjelasan bersama. Inilah mengapa, dalam setiap kegiatan yang dilakukan BPS, Pemda semestinya ikut andil. Bukan untuk mengintervensi. Bukan. Tetapi melaksanakan sebuah lembaga diskusi dan sinkronisasi data yang telah dikumpulkan oleh BPS. Ini semestinya, namun dalam kenyataannya, hanya beberapa kawasan saja di Indonesia yang sanggup menerapkan hal semacam itu. Dengan demikian, apabila terdapat kekeliruan data yang dikumpulkan oleh BPS, dengan cepat sanggup diperbaiki. Sebenarnya BPS sendiri telah menerapkan Forum Group Discussion (FGD), khususnya dalam melaksanakan updating masyarakat miskin. Dalam FGD ini, petugas BPS melaksanakan sharing and connecting dengan aparatur desa dan tokoh masyarakat untuk melaksanakan penjelasan sekaligus konfirmasi mengenai sejumlah masyarakat miskin yang ada di desa. Dalam lembaga singkat tersebut juga diputuskan sejumlah nama penduduk desa yang benar-benar miskin. Jadi, terasa absurd apabila terdapat pemberitaan perihal teknik BPS yang seperti seenaknya memasukkan atau mengeluarkan masyarakat miskin dari daftar updating.
Sebetulnya, data yang diperoleh oleh BPS bakal sesuai harapan, yakni data yang berkualitas. Namun, dikala ini kunci apakah sebuah data berkualitas atau tidak itu terdapat pada responden. Sampai detik ini, BPS selalu mengumandangkan kepada responden untuk memberikan informasi yang jujur dan apa adanya. Bagaimana mungkin data BPS akan berkualitas apabila di dalam setiap kegiatan statistik yang didapat hanya keterangan palsu, informasi bohong, atau data "sampah" dari responden. Kasus demikian nampak terang dikala berkaitan dengan kemiskinan, masyarakat masih menilai jikalau ada pendataan BPS, maka mereka akan mendapat bantuan. Padahal, BPS hanya mengumpulkan data saja, tidak berwenang memilih apakah kelak digelontorkan pertolongan atau tidak.
Selain ketidakpahaman masyarakat terhadap pentingnya data yang akurat, ada sebagian lagi yang belum tahu mengenai upaya BPS dalam melindungi data. Saban waktu, petugas BPS menyatakan bahwa Data Responden Dirahasiakan, namun tetap saja responden tak mau memperlihatkan informasi yang jujur kepada petugas BPS. Sebagai lembaga negara dalam bidang statistik, BPS juga mempunyai payung aturan berpengaruh terhadap perlindungan data responden, contohnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Statistik. Di dalamnya terperinci tertuang bahwa data responden itu akan dirahasiakan. Buktinya, dalam semua publikasi BPS, tidak tercantum nama kepala rumah tangga atau data individu perusahaan. Data yang disajikan oleh BPS ialah data agregat dan itu wajib dilindungi oleh negara. Tidak hanya oleh BPS saja.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa data BPS itu akan akurat dan berkualitas jikalau dalam pelaksanaannya didukung oleh pemerintah sentra dan daerah. Lebih penting lagi, kualitas data sejatinya berada di tangan responden. Oleh karenanya, untuk mendapat data yang berkualitas, responden terkena sampel atau sensus BPS hendaknya memperlihatkan informasi dan data yang berkualitas pula sehingga himpunan data BPS juga merupakan data berkualitas pula. Sebaliknya, bila datanya saja tidak berkualitas, lantas dengan dasar apa kita membangun negara ini?
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/