![]() |
Berita Resmi Statistik Triwulan III 2017, sumber: BPS |
![]() |
Series Pertumbuhan Ekonomi Triwulan III, yoy 2011 - 2017, sumber: BPS |
Bila ditinjau berdasarkan wilayah, Pulau Jawa masih mendominasi penyumbang besarnya PDB nasional pada triwulan ini, yakni 58,51 persen. Diikuti oleh Sumatera sebesar 21,54 persen, kemudian Kalimantan sebesar 8,10 persen, Sulawesi sebesar 6,16 persen, Bali dan Nusa Tenggara sebesar 3,22 persen dan terakhir yaitu Pulau Maluku dan Papua sebesar 2,47 persen.
Pertumbuhan ekonomi triwulan III ini juga tak lepas dari peranan realisasi belanja pemerintah (APBN) triwulan III 2017 yang mengalami peningkatan sebesar 22,56 persen dari pagu 2017. Selain itu, acara ekspor dan impor juga nampak mengalami peningkatan jikalau dibandingkan dengan triwulan sebelumnya dan year on year (yoy).
Yang masih menjadi problem perekonomian Indonesia sampai tamat 2017 ini yakni menurunnya kinerja lapangan perjuangan pertanian. BPS mencatat bahwa laju pertumbuhan ekonomi lapangan perjuangan pertanian, kehutanan dan perikanan pada triwulanan III 2017 mengalami perlambatan, menjadi 2,92 persen. Laju pertumbuhan ini terlihat lebih kecil dari triwulan sebelumnya yang sebesar 3,33 persen.
![]() |
Laju pertumbuhan, sumber: BPS |
![]() |
Laju pertumbuhan industri pengolahan naik, sumber: BPS |
![]() |
Struktur dan Pertumbuhan ekonomi triwulan III 2017, sumber: BPS |
Dengan semakin mengecilnya tugas dan fungsi lapangan perjuangan pertanian kehutanan dan perikanan, maka kelak pertumbuhan ekonomi nasional akan didominasi oleh industri manufaktur. Masalahnya yakni seberapa besar kualitas pertumbuhan ekonomi itu? Bilamana pertumbuhan ekonomi terus melaju, lantas apakah pengangguran berkurang? Ini yang menjadi persoalan.
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa lapangan perjuangan yang sampai kini masih welcome terhadap ketersediaan tenaga kerja yakni lapangan perjuangan pertanian kehutanana dan perikanan. Siapapun jikalau "banting setir" dan terjun dalam lapangan perjuangan tersebut. BPS menyebutkan bahwa angkatan kerja pada Agustus 2017 memang sebanyak 128,06 juta orang. Meski begitu, kondisi tersebut ternyata menurun sebesar 3,49 juta orang jikalau dibandingkan dengan kondisi Februari 2017. Pertumbuhan ekonomi yang berfluktuasi di sekitar angka 4 sampai 5 persen ternyata belum cukup bisa "memborong" seluruh angkatan kerja yang ada.
Buktinya, berdasarkan data BPS, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada Agustus 2017 hanya sebesar 66,67 atau menurun dibandingkan kondisi Februari 2017 yang sebesar 69,02. Daya serap lapangan perjuangan terhadap ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) nampaknya mengecil, meski pemerintah mengklaim lapangan kerja semakin banyak dan bervariasi. Tenaga kerja yang ada kini justru bersaing dengan mesin. Meski pemerintah tahun ini membuka kran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) besar-besaran tapi hal itu hanya memenuhi kuota gugusan kosong semata, tidak ada niatan berupaya mengurangi pengangguran.
Berdasarkan data BPS pula, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yakni lulusan yang menyumbang Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tertinggi, sekitar 12 persen. Ini memperlihatkan makna kepada kita bahwa pertumbuhan ekonomi yang makin baik justru "keropos" alasannya yakni pengangguran makin bertambah. Sekolah Menengah kejuruan yang merupakan lahan menghasilkan tenaga kerja terampil dan kreatif harus dikorbankan demi memenuhi efisiensi proses peningkatan nilai tambah barang dan jasa. Mereka semua bersaing bukan dengan sesamanya, namun dengan mesin-mesin serba canggih dengan penggunaan materi bakar yang irit. Jadi, pemerintah tak perlu terlalu gembira dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik sebagaimana judul "pengantar tidur" Kompas.com edisi hari ini. Ada hal-hal krusial yang justru menjadikan pertumbuhan ekonomi itu tak ada apa-apanya.(*)
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/