Narboka Bisnis 'Bawah Tanah', sumber foto: aciknadzirah.blogspot.com/search?q=pemakai-narkoba-di-indonesia-tingkat-membahayakan/
Underground Economy (UE) dalam pengertiannya merupakan acara perekonomian yang terjadi di “bawah tanah”. UE juga dipandang sebagai kegiatan ekonomi yang tidak tersorot oleh instansi yang disepakati memiliki legalitas dalam mencatat acara ekonomi. Tidak hanya meliputi acara ekonomi yang dianggap legal, baik secara yuridis maupun secara konseptual, UE merupakan elemen perekonomian yang secara implisit menjadi residual pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Aktivitas yang ilegal memang sangat sulit untuk diidentifikasi, apalagi jikalau dikaitkan dengan kebijakan perpajakan. Masih banyak acara ekonomi yang semestinya tercakup di dalam pencatatan resmi pemerintah yang luput dari kewajiban membayar pajak setiap tahunnya.
Beberapa catatan penting terkait UE ini menawarkan sumbangsih besar dalam sejarah dan perjalanan perekonomian nasional. Pada tahun 2003, asumsi UE yang dihitung oleh Chatib Basri mencapai 40 persen dari PDB nasional. Di tahun yang sama, Faisal Bari mengungkapkan bahwa besarnya UE Indonesia berkisar antara 30 persen sampai 40 persen. UE tersebut diungkapkannya lebih banyak bersumber dari kegiatan ekonomi yang tidak membayar pajak, aktvitas korupsi dan acara lain yang terjadi secara sembunyi-sembunyi. Tahun 2005, potensi UE yang berasal dari acara illegal mining, illegal logging dan illegal fishing diperkirakan merugikan negara dari sisi pajak hingga menyentuh angka 263 triliun. Pada tahun 2010, UE Indonesia telah mencapai peringkat ke-77 dengan begitu maraknya acara ekonomi “bawah tanah” ini. Hingga awal 2016, asumsi kerugian pajak yang tertanggung oleh negara akhir adanya UE diperkirakan mencapai 600 triliun lebih.
Begitu besarnya dampak adanya residual perekonomian ini, namun masih belum tercakup dalam perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), khususnya di wilayah Mauluku Utara. Selama ini, yang masih sanggup diukur oleh Badan Pusat Statistik (BPS) hanya angka PDRB saja. Belum meliputi acara UE. Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara tahun 2014 saja yang sebesar 5,49 persen juga masih belum sepenuhnya meliputi acara ekonomi “bawah tanah”. Termasuk pula pertumbuhan ekonomi Kabupaten Halmahera Utara yang berkisar pada angka 6 persen selama 2010 hingga 2014. Angka pertumbuhan ekonomi tersebut masih belum terkoreksi dengan pertumbuhan ekonomi yang diciptakan oleh sektor-sektor ilegal, tercatat dan tidak dilaporkan. Dengan demikian, apabila volume dan variasi acara UE ini diasumsikan semakin meningkat setiap tahunnya, maka setidaknya terdapat beberapa beberapa dampak yang kurang baik terhadap perekonomian yang notabene bakal menjadi materi baku pengambilan kebijakan.
Pertama, beberapa angka statistik tentu tidak akurat, menyerupai angka pengangguran, angka pendapatan dan angka konsumsi atau pengeluaran. Aktivitas yang tidak tercatat secara bersiklus dan secara resmi, tentu akan menjadikan angka statistik underestimate. Maraknya acara perekonomian yang berbasis online dalam konteks ini juga menjadikan acara perekonomian tidak sanggup dilihat secara kasat mata, sehingga secara aturan dan definitif tempat dan seluk-beluknya tidak sanggup diketahui dan dicatat. Tidak hanya mengenai jumlah tenaga kerja yang mengurus bisnis online tersebut, hingga pendapatan dan angka konsumsinya pun tidak sanggup ditelusuri dengan pasti. Belum lagi ditambah dengan masih maraknya acara ilegal yang tersebar di wilayah Maluku Utara, di antaranya bisnis minuman beralkohol tinggi, perjuangan prostitusi terselubung yang kemungkinan omset per tahunnya sanggup mencapai 2 hingga 3 persen PDRB, bisnis Narkoba yang masih terbungkus secara rapi, dan acara legal lain yang belum tercatat.
Seluruhnya terdapat acara ekonomi, mulai dari menyebabkan permintaan tenaga kerja, menyebabkan penawaran dan permintaan atau omset, hingga termasuk pendapatan oleh pelaku perjuangan dan tenaga kerja.
Kedua, alasannya yakni pencatatan mengenai acara ekonomi sangat berkaitan dengan kebijakan pajak, maka sanggup diperkirakan akan terjadi perpindahan besar-besaran dari tenaga kerja yang berkecimpung di sektor ekonomi resmi ke sektor informal atau tidak resmi.
Dampak ketiga-nya merupakan efek multiplier dari dampak kedua. Apabila terjadi movement jumlah pekerja dari sektor resmi ke sektor informal, maka yang terjadi yakni turunnya penerimaan pajak secara implisit dan berhilir kepada turunnya pendapatan suatu daerah. Penuruan penerimaan pajak tersebut tentu sedikit banyak menjadi faktor koreksi besarnya PDRB dan pertumbuhan ekonomi daerah, khususnya di wilayah Maluku Utara. Beberapa dampak tersebut setidaknya memperlihatkan sulitnya membuat PDRB hijau yang terkoreksi oleh UE. Dengan demikian, peranan pemerintah kawasan wilayah Maluku Utara, terutama dalam melaksanakan pengawasan terhadap acara perekonomian UE, terutama sektor informal, sektor ilegal dan sektor formal yang belum dilaporkan.
Tulisan ini dipublikasikan di Koran Malut Post